ManisPahit Kehidupannya

Sunday, 1 December 2013

MAKALAH SKI PERKEMBANGAN ILMU ASTRONOMI PADA MASA PEMERINTAHAN DINASTI ABBASIYAH


MAKALAH SKI

PERKEMBANGAN  ILMU  ASTRONOMI PADA  MASA  PEMERINTAHAN  DINASTI ABBASIYAH

 

NAMA KELOMPOK
1.   RAFIKA HAYATI NASUTION
2.   MUTIA SALWA
3.   LISA AMALIA
4.   ANITA

VIII-A
MTsN. LUBUK PAKAM 2012/2013




 

Kata Pengantar

Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah segala puji syukur selalu kami haturkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, serta inayah-Nya kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan tugas penyusunan Makalah Sejarah Kebudayaan Islam dengan judul Perkembangan ilmu astronomi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah.

              Kami selaku penyusun makalah menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bpk………………………. selaku guru mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini, orang tua yang selalu mendukung kelancaran tugas kami, serta pada tim anggota kelompok  yang selalu kompak dan konsisten dalam penyelesaian tugas ini

             
Makalah Perkembangan ilmu astronomi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam yang dibimbing oleh Bpk………………………….

            Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami tidak menutup diri dari para pembaca akan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan dan peningkatan kualitas penyusunan makalah dimasa yang akan datang.

            Dan kami berharap, semoga makalah ini bisa memberikan suatu kemanfaatan bagi kami penyusun dan para pembaca semuanya. Amin.



Lubuk Pakam, 26 Nivember 2013


Penyusun






DAFTAR ISI


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 





BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG

           Sebagai salah satu ilmu pengetahuan tertua dalam peradaban manusia, Astronomi kerap dijuluki sebagai 'ratu sains'. Astronomi memang menempati posisi yang terbilang istimewa dalam kehidupan manusia. Sejak dulu, manusia begitu terkagum-kagum ketika memandang kerlip bintang dan pesona benda-benda langit yang begitu luar biasa. Fenomena langit sangatlah menarik rasa ingin tahu manusia. Sebuah bukti adalah adanya sejarah para ilmuan yang mencoba untuk mengamati dan mempelajari fenomena alam tersebut. 
         
          Awalnya, manusia menganggap fenomena langit sebagai sesuatu yang magis. Seiring berputarnya waktu dan zaman, manusia pun memanfaatkan keteraturan benda-benda yang mereka amati di angkasa untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti penanggalan. Dengan mengamati langit, manusia pun bisa menentukan waktu utuk pesta, upacara keagamaan, waktu untuk mulai menabur benih dan panen.

         
Seiring perkembangan zaman dan peradaban, ilmu perbintangan ini mulai dikembangkan di berbagai daerah. Astronomi sistematis dengan perhitungan matematis mulai digunakan pertama kali oleh orang-orang dari Babilonia. Sejak itu, perkembangan astronomi semakin pesat dan luas.

Setelah Islamisasi dilakukan hampir di seluruh jazirah Arab, ada beberapa bukti bahwa orang-orang Islam sudah mulai mempelajari ilmu perbintangan yang diadopsi dari India dan Yunani kuno. Dan seiring dengan perkembangang ilmu pengetahuan pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, Ilmu Astronomi merupakan salah satu ilmu yang berkembang pesat pada saat itu. Oleh karenanya, kami mencoba untuk mengkaji perkembangan ilmu Astronomi pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah.


- Bagaimana perkembangan Ilmu Astronomi Islam pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah?
- Siapa sajakah tokoh-tokoh Ilmuwan Muslim yang mengembangkan Ilmu Astronomi pada saat itu?

- Mengetahui apa itu Astronomi.
- Mengetahui perkembangan Ilmu Astronomi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah
- Mengetahui Pengaruh Islam dalam perkembangan ilmu Astronomi dan pengaruh Ilmu Astronomi dalam Islam.

































Kata astronomi awalnya berasal dari bahwa Yunani kuno yaitu astron yang berarti bintang dan nomos yang berarti hukum atau budaya. Maka apabila digabungkan astron-nomos adalah hukum atau budaya bintang-bintang.Ilmu Astronomi terkenal pula dengan ilmu Falak, yaitu ilmu yang mempelajari benda-benda langit, seperti matahari, bulan, dan planet-planet. Pengetahuan tentang posisi benda-benda langit tersebut merupakan hasil pengamatan yang dilakukan dengan alat-alat tertentu yang dilakukan secara berulang-ulang.


Astronomi ialah cabang ilmu alam yang melibatkan pengamatan benda-benda langit (seperti halnya bintang, planet, komet, nebula, gugus bintang, atau galaksi) serta fenomena-fenomena alam yang terjadi di luar atmosfer Bumi (misalnya radiasi latar belakang kosmik (radiasi CMB)). Ilmu ini secara pokok mempelajari pelbagai sisi dari benda-benda langit — seperti asal-usul, sifat fisika/kimia, meteorologi, dan gerak — dan bagaimana pengetahuan akan benda-benda tersebut menjelaskan pembentukan dan perkembangan alam semesta.
Astronomi sebagai ilmu adalah salah satu yang tertua, sebagaimana diketahui dari artifak-artifak astronomis yang berasal dari era prasejarah; misalnya monumen-monumen dari Mesir dan Nubia, atau Stonehenge yang berasal dari Britania. Orang-orang dari peradaban-peradaban awal semacam Babilonia, Yunani, Cina, India, dan Maya juga didapati telah melakukan pengamatan yang metodologis atas langit malam. Akan tetapi meskipun memiliki sejarah yang panjang, astronomi baru dapat berkembang menjadi cabang ilmu pengetahuan modern melalui penemuan teleskop.
Cukup banyak cabang-cabang ilmu yang pernah turut disertakan sebagai bagian dari astronomi, dan apabila diperhatikan, sifat cabang-cabang ini sangat beragam: dari astrometri, pelayaran berbasis angkasa, astronomi observasional, sampai dengan penyusunan kalender dan astrologi. Meski demikian, dewasa ini astronomi profesional dianggap identik dengan astrofisika.
Pada abad ke-20, astronomi profesional terbagi menjadi dua cabang: astronomi observasional dan astronomi teoretis. Yang pertama melibatkan pengumpulan data dari pengamatan atas benda-benda langit, yang kemudian akan dianalisis menggunakan prinsip-prinsip dasar fisika. Yang kedua terpusat pada upaya pengembangan model-model komputer/analitis guna menjelaskan sifat-sifat benda-benda langit serta fenomena-fenomena alam lainnya. Adapun kedua cabang ini bersifat komplementer — astronomi teoretis berusaha untuk menerangkan hasil-hasil pengamatan astronomi observasional, dan astronomi observasional kemudian akan mencoba untuk membuktikan kesimpulan yang dibuat oleh astronomi teoretis.
Astronom-astronom amatir telah dan terus berperan penting dalam banyak penemuan-penemuan astronomis, menjadikan astronomi salah satu dari hanya sedikit ilmu pengetahuan di mana tenaga amatir masih memegang peran aktif, terutama pada penemuan dan pengamatan fenomena-fenomena sementara.
Astronomi harus dibedakan dari astrologi, yang merupakan kepercayaan bahwa nasib dan urusan manusia berhubungan dengan letak benda-benda langit seperti bintang atau rasinya. Memang betul bahwa dua bidang ini memiliki asal-usul yang sama, namun pada saat ini keduanya sangat berbeda.[1]
Pada awalnya, astronomi hanya melibatkan pengamatan beserta prediksi atas gerak-gerik benda-benda langit yang terlihat dengan mata telanjang. Pada beberapa situs seperti Stonehenge, peradaban-peradaban awal juga menyusun artifak-artifak yang diduga memiliki kegunaan astronomis.Observatorium-observatorium purba ini jamaknya bertujuan seremonial, namun dapat juga dimanfaatkan untuk menentukan musim, cuaca, dan iklim — sesuatu yang wajib diketahui apabila ingin bercocok tanam — atau memahami panjang tahun.
Sebelum ditemukannya peralatan seperti teleskop, penelitian harus dilakukan dari atas bangunan-bangunan atau dataran yang tinggi, semua dengan mata telanjang. Seiring dengan berkembangnya peradaban, terutama di Mesopotamia, Cina, Mesir, Yunani, India, dan Amerika Tengah, orang-orang mulai membangun observatorium dan gagasan-gagasan mengenai sifat-sifat semesta mulai ramai diperiksa. Umumnya, astronomi awal disibukkan dengan pemetaan letak-letak bintang dan planet (sekarang disebut astrometri), kegiatan yang akhirnya melahirkan teori-teori tentang pergerakan benda-benda langit dan pemikiran-pemikiran filosofis untuk menjelaskan asal-usul Matahari, Bulan, dan Bumi. Bumi kemudian dianggap sebagai pusat jagat raya, sedang Matahari, Bulan, dan bintang-bintang berputar mengelilinginya; model semacam ini dikenal sebagai model geosentris, atau sistem Ptolemaik (dari nama astronom Romawi-Mesir Ptolemeus).


Salah satu ilmu yang berkembang cepat di dunia Islam adalah astronomi. Dalam ilmu perbintangan, banyak ilmuwan muslim mempelajari metode Batlamyus dan karya-karya astronom asal Iran dan India. Setelah itu, mereka mampu melakukan berbagai inovasi di dunia astronomi seperti jam matahari, astrolabe, alat peneropong dan alat penentu waktu.

Astrolabe yang dibuat para ilmuwan muslim mempunyai ketelitian yang tidak kalah dengan ketelitian komputer saat ini. Dalam sejarah juga disebutkan bahwa para ilmuwan muslim di bidang penentuan waktu tercatat sebagai penggagas ilmu ini, bahkan Barat sendiri berkiblat kepada mereka.

Salah satu karya penting para ilmuwan muslim adalah upaya mereka dalam menentukan ciri-ciri bumi. Menurut sejarah, Makmoun, khalifah Dinasti Abbasiah saat itu, memerintahkan para astronom supaya menghitung luas planet bumi. Para ilmuwan di masa itu menelaah karya-karya Yunani dan kemudian berhasil menemukan metode baru yang luar biasa. Setelah itu, Abu Raihan Biruni menemukan inovasi baru dengan astrolobe untuk mengetahui wilayah planet bumi. Dalam karya yang terkenal dengan ilmu "jelajah bumi", Biruni menjelaskan inovasinya.

Di bidang ilmu perbintangan, kerja keras para ilmuwan muslim bermula dari penerjemahan karya-karya Batlamyus. Setelah itu, banyak karya-karya yang menjelaskan catatan Batlamyus. Terkait hal ini,  ilmuwan muslim seringkali mengkritik pandangan-pandangan Batlamyus dan menentang penjelasan ilmuwan asal Yunani ini. Saat ini,  pandangan para ilmuwan muslim di bidang ilmu perbintangan terkenal dengan istilah terori pra-copernicus.

Ada tiga karya terjemah dan penjelasan terkait perbintangan Batlamyus yang hingga sekarang masih ada. Tak dapat dipungkiri, karya-karya Batlamyus mendorong  para ilmuwan muslim menelaah ilmu perbintangan dan menghitung orbit planet-planet yang bernama zij. Dalam dunia Islam, jumlah zij mencapai 220.

Para astronom dalam berbagai risetnya berupaya mengungkap populasi bintang. Hasilnya, para ilmuwan berhasil mendapatkan data yang lengkap. Peradaban Islam telah turut memberi nama ratusan hingga ribuan bintang dalam populasi galaksi. Dari sederet nama bintang yang ditemukan dan dinamai ilmuwan Muslim itu, hingga kini masih ada yang dipakai, bahkan ada pula yang sudah lenyap dan tak digunakan lagi oleh peradaban modern. Di antara masalah penting di dunia astronomi adalah menentukan masa tahun matahari. Riset panjang umat para ilmuwan muslim untuk mengetahui masa tahun matahari menghasilkan kalender di dunia Islam.

Terkait kalender tahun matahari tidak terlepas dari peran ilmuwan Muhammad Ibnu Jabir al-Harrani al-Batani dan Abu Jafar Muhammad ibn Hasan Khazini. Jasa al-Batani terhadap kalender Islam sangatlah besar. Di sini, al-Batani mengusulkan teori baru dalam menentukan kondisi terlihatnya bulan baru, yang kita sebut sebagai hilal. Tak hanya itu, al-Batani juga berhasil mengubah sistem perhitungan sebelumnya yang membagi satu hari ke dalam 60 bagian (jam) menjadi 12 bagian (12 jam), dan setelah ditambah 12 jam waktu malam sehingga berjumlah 24 jam.

Sudut kemiringan bumi terhadap matahari saat berotasi juga ditemukan oleh al-Batani, yaitu sebesar 23035. Bahkan lamanya bumi berevolusi terhadap matahari, secara akurat mampu dihitung al-Batani sebanyak 365 hari, 5 jam, 46 menit, dan 24 detik.

          Al – Qur`an juga menjelaskan beberapa teori yang berkaitan dengan Asronomi. Mulanya di langit ada sekelompok bintang yang nampak seperti kabut  yang dinamakan nebula,  lalu ada pemisahan kedua yang membentuk galaksi, lebih jauh; terjadi pemisahan menjadi tata surya yang melahirkan matahari, sejumlah planet, bulan dan bumi. Allah telah menjelaskan hal ini dalam Surah Anbiya.
http://andihasad.files.wordpress.com/2008/07/qs-al-anbiyaa-30.jpg?w=468&h=89
 Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka    tiada juga beriman?.” ( QS. Al Anbiyaa’ [21]:30 ).
Ayat ini bicara tentang  big bang theory, bayangkan, apa yang kita temukan masa kini, Al-Qur’an telah menyebutkannya lebih dari 1400 tahun  yang  lalu. Allah juga mengatakan  dalam surah Fushshilat :
http://andihasad.files.wordpress.com/2008/07/qs-fushshilat-41-11.jpg?w=468&h=83
Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati. ( QS. Fushshilat [41] : 11 ).
Dalam bahasa  arab kata dukhan artinya asap. Jika anda bertanya kepada ilmuan bagaimana awal alam semesta, mereka akan mengatakan bahwa alam semesta pada mulanya bukan berbentuk padat tapi gas yang tampak seperti asap.

Dulu, orang menganggap bahwa bumi ini datar, sehingga mereka takut pergi terlalu jauh karena nanti bisa terjatuh,baru pada tahun 1597 ketika Francis Drake; berlayar mengelilingi bumi kemudian membuktikan  bahwa bumi ini berbentuk bulat. Bukankah Allah telah menyebutkannya dalam  Al-Qur’an surah  Luqman.
http://andihasad.files.wordpress.com/2008/07/qs-luqman-31-29.jpg?w=468&h=100
Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan matahari dan bulan masing-masing berjalan sampai kepada waktu yang ditentukan, dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( QS. Luqman [31] : 29 ).

Penyatuan adalah proses yang lambat dan bertahap. Malam secara perlahan dan bertahap berubah menjadi siang dan siang secara perlahan dan bertahap berubah menjadi malam, gejala ini hanya mungkin terjadi jika bumi berbentuk bulat, tidak mungkin bumi berbentuk datar, jika bumi berbentuk datar maka akan ada perubahan yang mendadak. Hal ini diperkuat oleh Allah pada firman-Nya  dalam surah Az-zumar .
http://andihasad.files.wordpress.com/2008/07/qs-az-zumar-39-5.jpg?w=468&h=133
Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan  menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah Dialah Yang    Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. ( QS. Az Zumar [39] : 5 )



Kata Kawwara dalam bahasa Arab berarti melewati / menggulung. Gejala ini hanya akan terjadi jika bumi berbentuk bulat dan tidak mungkin terjadi jika bumi berbentuk datar.   Firman Allah dalam surah An-Naazi’aat .
http://andihasad.files.wordpress.com/2008/07/qs-an-naazic2b4aat-79-30.jpg?w=468



Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya.   ( QS. An Naazi´aat [79] : 30 ).

Kata dasar dari Dahahaa berarti keteluran, bukan sembarang telur tetapi khusus mengacu pada  telur burung unta. Sedikit menyempit dari puncaknya dan menonjol dari pusat. Jadi Al-Qur’an telah menunjukkan bentuk  tepat  geospherical dari bumi lebih 14 abad yang lalu.

Sebelumnya kita berpikir bahwa cahaya bulan adalah cahayanya sendiri, barulah akhir-akhir ini kita tahu bahwa cahaya bulan adalah cahaya matahari yang dipantulkan. Bukankah Allah telah mengatakannya dalam surah  Al-Furqan ayat 61, dalam surah Yunus  ayat 5. Pesan yang sama juga diulang  pada surah Nuh.
http://andihasad.files.wordpress.com/2008/07/qs-nuh-71-16.jpg?w=468


Dan    Allah     menciptakan   padanya   bulan sebagai cahaya dan menjadikan  matahari   sebagai pelita?  ( QS. Nuh [71] : 16 ).
Sebelumnya ilmuan Eropa mengatakan bahwa bumi berdiri sendiri sebagai pusat planet dan benda-benda langit lainnya termasuk matahari mengelilingi bumi. Ini dikenal sebagai teori geocentrism. Teori ini dipercaya para ahli pada abad ke-2 SM dan bertahan selama 16 abad lamanya, sampai Copernicus mengatakan bahwa bumi dan planet lainnya berputar mengelilingi matahari.

Tahun 1609, Yohannes Kippler menulis dalam bukunya Astronomi dan Norwegia, bahwa bukan hanya bumi dan planet yang berputar mengelilingi matahari, mereka juga berputar diporosnya sendiri.
Disekolah kita bahkan diajarkan bahwa bumi dan planet berputar pada porosnya sendiri dan berputar mengelilingi matahari, sedangkan  matahari tetap dan tidak berputar pada porosnya, tapi Allah  berfirman pada surah Al-Anbiyaa’.
http://andihasad.files.wordpress.com/2008/07/qs-al-anbiyaa-21-33.jpg?w=468&h=44
Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya ( QS. Al Anbiyaa’ [21] : 33 )
Kata dasar dari Yasbahuna berarti gerakan dari badan yang bergerak.Hal ini juga menunjukkan bahwa Matahari juga berputar pada porosnya.  Itulah kajian ilmu astronomi menurut Islam. Al- Qur’an.


Pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, bangsa Arab menjadi penghubung kebudayaan Yunani dan Eropa. Bangsa Arab memiliki sifat, kepribadian, serta keimanan yang murni. Mereka percaya bahwa manusia diciptakan semata-mata oleh Allah SWT. Oleh karena itu, segala ilmu yang mereka peroleh dari bangsa Yunani  dianggap sebagai amanat yang harus dipelihara dan disampaikan kepada umat manusia. Kemudian, bangsa Arab menyusun komentar sebaik-baiknya tanpa memutarbalikkan kenyataan yang mereka peroleh dan menyampaikan hal itu kepada umat manusia.

          Ilmuwan-ilmuwan Islam, juga telah banyak menyumbangkan karya-karyanya kepada dunia Astronomi, diantaranya adalah sebagai berikut :

 Abu Abdallah Muhammad ibn Ibrahim al-Farazi (796-806) adalah seorang filsuf muslim, matematikawan, dan astronom.Beliau lahir di tengah keluarga ilmuwan. Ayah beliau, Ibrahim al Fazari, juga seorang astronomer dan matematikawan. Beberapa sumber mengatakan bahwa dilihat dari nama, beliau berasal dari Arab tapi mempelajari ilmu di Persia dan sumber yang lain mengatakan bahwa beliau adalah seorang Persia. Al Farazi menetap serta berkarya di Baghdad, Irak, ibu kota kekhalifahan Abbasiyah.


         Al Farazi adalah salah satu astronom paling awal di dunia Islam. Beliau memegang peran penting dalam kemajuan ilmu astronomi di masa Abbasiyah. Al Fazari menerjemahkan beberapa literatur asing ke dalam bahasa Arab dan Persia. Bersama dengan beberapa cendekiawan lain, seperti Naubakht, Masha'Alhah, dan Umar ibnu al-Farrukhan al-Tabari, beliau meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan di dunia Islam. Dinasti Abbasiyah yang berkuasa saat itu memberikan peluang dan dukungan yang sangat besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan apalagi dalam bidang astronomi. Khalifah al-Mansyur adalah penguasa Abbasiyah pertama yang memberi perhatian serius dalam pengkajian astronomi dan astrologi. Beliau tidak segan untuk mengeluarkan dana besar untuk memulai pengembangan ilmu ini.
Khalifah mengumpulkan dan mendorong cendekiawan muslim untuk menerjemahkan beragam literatur yang berasal dari Yunani, Romawi Kuno, India, hingga Persia. Sang khalifah menunjuk seorang ahli astronomi yang bernama Naubahkh untuk memimpin upaya itu. Khalifah meulis surat pada kaisar Bizantium agar mengirimkan buku-buku ilmiah untuk diterjemahkan, termasuk buku-buku tentang ilmu astronomi. Secara khusus, sang khalifah meminta al Fazari untuk menerjemahkan sebuah buku tentang astronomi dari India yang berjudul Sindhind, tylisan Brahmaghupta. Buku tersebut dibawa oleh seorang pengembara dan ahli astronomi India bernama Mauka ke Baghdad dan segera menarik perhatian kaum cendekia di sana. Al Fazari menunaikan tugas dengan baik.

            Al Fazari, ungkap Ehsan Masood dalam bukunya "Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern", saat itu telah menguasai astronomi sehingga di bawah arahan khalifah langsung beliau mampu menerjemahkan dan menyadur teks astronomi India kuno yang sangat teknis tersebut. Kemudia beliau memberi judul Zij al Sinin al Arab (Tabel Astronomi Berdasarkan Penanggalan Bangsa Arab) pada karya terjemahannya tersebut.

Ilmuwan terkemuka bernama Yaqub ibnu Tariq juga turut membantu dalam proyek pengalihan bahasa tersebut. Menurut Ehsan Masood, penerjemahan Sindhind sangat berharga. Bukan hanya karena wawasan astronominya tapi juga sistem penomoran India yang ada di dalamnya. Hasil kerja Al Farazi melalui penerjemahan mengenalkan sistem penomoran tersebut ke dunia Arab.
Tugas yang diawali Al Farazi pada masa selanjutnya disempurnakan oleh al Khawarizmi. Al Farazi menyusun zij atau tabel indeks kalkulasi posisi benda-benda langit. Perhitungan dilakukan dengan mengkombinasikan penanggalan India, Kalpa Aharganas dengan perhitungan tahun Hijriah Arab. Selain itu, karya al Farazi mencantumkan daftar negara-negara di dunia dan dimensinya berdasarkan perhitungan tabel.

Pada masa Khalifah Harun Al Rasyid, Al Farazi membuat astrolab planisferis pertama yaitu mesin hitung analog pertama, sebagai alat bantu astronomi menghitung waktu terbit dan tenggelam serta titik kulminasi matahari dan bintang serta benda langit lainnya pada waktu tertentu. Astrolab menjadi instrumen paling penting yang pernah dibuat. Dengan desain akurat, astrolab menjadi instrumen penentu posisi pada abad pertengahan. Astrolab merupakan model alam semesta yang bisa digenggam sekaligus jam matahari untuk mengukur tinggi dan jarak bintang. Chaucer dalam Treatise in the Astrolabe menyatakan bahwa Astrolab kemudian menjadi alat navigasi utama. hanya dalam beberapa bulan setelah ditemukan Astrolab oleh Al Farazi, kemajuan astronomi melejit cepat. Astrolab memainkan peranan penting dalam pencapaian bidang astronomi oleh umat Muslim hingga masa-masa berikutnya. Seorang astronom bernama al Sufi berhasil memanfaatkannya dengan baik.


Al Sufi mampu memetakan sekitar seribu kegunaan Astrolab dalam berbagai bidang yang berbeda seperti astronomi, astrologi, navigasi, survei, penentuan arah kiblat, waktu shalat, dan penunjuk waktu. Karya Al Farazi lain berupa syair dengan judul "Qasida fi Ilm al-Nujum" (Puisi tentang Ilmu Pengetahuan dan Perbintangan). Pada abad ke-13, karya ini ditemukan kembali oleh penjelajah dan ahli geografi Muslim bernama Yaqut al-Hamawi dan al-Safadi.
Gairah dan kemauan para sarjana Muslim belajar dari tradisi ilmu lain serta dukungan penuh dari pemerintahan menjadi kunci keberhasilan dalam memajukan ilmu pengetahuan di dunia Islam.

Al-Farghani adalah seorang ahli astronomi muslim yang sangat berpengaruh. Nama lengkapnya adalah Abu al-Abbas bin Muhammad bin Kalir al-Farghani. Di Barat, para ahli astronomi abad pertengahan mengenalnya dengan sebutan al-Farghanus. 

Al-Farghani berasal dari Farghana, Transoxania. Farghana adalah sebuah kota di tepi sungai Sardaria, Uzbekistan. Ia hidup di masa pemerintahan khalifah al-Ma'mun (813-833) hingga masa kematian al-Mutawakkil (847-881). Al-Farghani sangat beruntung hidup di dua masa tersebut karena pemerintah kekhalifahan memberi dukungan penuh bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Buktinya, sang khalifah membangun sebuah lembaga kajian yang disebut Akademi al-Ma'mun, dan mengajak al-Farghani untuk bergabung. Bersama para ahli astronomi lain, ia diberi kesempatan menggunakan peralatan kerja yang sangat canggih pada masa itu. Ia memanfaatkan fasilitas yang ada untuk mengetahui ukuran bumi, meneropong bintang, dan menerbitkan laporan ilmiah. Pada tahun 829, al-Farghani melakukan penelitian di sebuah observatorium yang didirikan oleh khalifah al-Ma'mun di Baghdad. Ia ingin mengetahui diameter bumi, jarak, dan diameter planet lainnya. Pada akhirnya, ia berhasil menyelesaikan penelitian tersebut dengan baik.

Al-Farghani juga termasuk orang yang turut memperindah Darul Hikmah al-Ma'mun dan mengambil bagian dalam proyek pengukuran derajat garis lintang bumi. Al-Farghani juga berhasil menjabarkan jarak dan diameter beberapa planet. Pada masa itu, hal tersebut merupakan pencapaian yang sangat luar biasa.

Hasil penelitian al-Farghani di bidang astronomi ditulisnya dalam berbagai buku. Harakat as-Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum (Asas-Asas Ilmu Bintang) adalah salah satu karya utamanya yang berisi kajian bintang-bintang. Sebelum masa Regiomontanus, Harakat as-Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum adalah salah satu buku yang sangat berpengaruh bagi perkembangan astronomi di Eropa.

Di dalam buku tersebut, al-Farghani memang mengadopsi sejumlah teori Ptolemaeus, tapi ia mengembangkanya lebih lanjut hingga membentuk teorinya sendiri. Tak heran, Harakat a-Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum mendapatkan respon yang positif dari para ilmuwan muslim dan non muslim. Buku ini pun diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Harakat as-Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris mengalami perubahan judul menjadi The Elements of Astronomy. Pada abad XII, buku ini diterjemahkan pula dalam dua versi bahasa Latin. Salah satunya diterjemahkan oleh John Seville pada tahun 1135, sebelum kemudian direvisi oleh Regiomontanus pada tahun 1460-an. Sebelum tahun 1175, karya ini juga sempat diterjemahkan oleh Gerard Ceremona.
                                             Biografi Al-Farghani: Perintis Astronomi Modern
Selanjutnya, Dante melengkapi karya al-Farghani ini dengan menambahkan pendapatnya tentang astronomi dan memasukkan karyanya yang berjudul La Vita Nuova. Seorang ilmuwan Yahudi yang bernama Jacob Anatoli juga menerjemahkan karya ini dalam bahasa Yahudi, dan menjadi terjemahan latin versi ketiga (1590). Pada tahun 1669, Jacob Golius menerbitkan teks Latin yang baru. Bersamaan dengan itu, sejumlah ringkasan karya al-Farghani telah beredar di kalangan para ilmuwan. Di kemudian hari, The Elements of Astronomy diakui sebagai sebuah karya yang sangat berpengaruh bagi para ilmuwan masa itu.

Tidak hanya aktif di bidang astronomi, al-Farghani juga aktif di bidang lain, seperti teknik. Seorang ilmuwan yang bernama Ibnu Tughri Birdi berkata bahwa al-Farghani pernah ikut melakukan pengawasan pada proyek pembangunan Great Nilometer di Kairo Lama (861). Nilometer adalah sebuah alat pengukur pasang-surut air sungai Nil. Alat ini dibangun di pulau Roda, sebuah pulau yang terletak di sebelah selatan Kairo. Nilometer berbentuk tiang yang mampu mencatat ketinggian air. Bangunan tersebut berhasil diselesaikan bersamaan dengan meninggalnya khalifah al-Mutawwakil, sang pencetus pembagunan Nilometer.

Al-Farghani juga pernah ditugaskan melakukan pengawasan pada sebuah proyek penggalian kanal di kota baru, al-Ja'fariyya, yang terletak berdekatan dengan Samaran di daerah Tigris. Proyek tersebut bernama Kanal al-Ja'fari. Saat itu, al-Farghani memerintahkan para pekerja untuk membuat bagian hulu kanal lebih dalam dari pada bagian yang lain. Dengan begitu, tidak akan ada air yang mengaliri kanal tersebut, kecuali jika permukaan air sungai Tigris sedang pasang. Kebijakan al-Farghani ini sempat membuat khalifah marah, namun hitungan al-Farghani kemudian dibenarkan oleh seorang pakar teknik yang berpengaruh, Sind bin Ali. Akhirnya, sang khalifah mau menerima kebijakan tersebut. Dalam bidang teknik, al-Farghani juga membuat karya dalam bentuk buku, yaitu Kitab al-FusulIkhtiyar al-Majisti, dan Kitab 'Amal al-Rukhamat.

Karya utama al-Farghani yang berbahasa Arab masih tersimpan baik di Oxford, Paris, Kairo, dan di perpustakaan Universitas Princeton. Atas karya dan jasanya yang begitu banyak, nama al-Farghani dikenal sebagai salah satu perintis astronomi modern. Al-Farghani adalah tokoh yang memperkenalkan sejumlah istilah astronomi asli Arab pada dunia, seperti azimuthnadir, dan zenith.

Al-Battani lahir pada tahun 858 di Battan, Harran. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad Ibn Jabir Ibnu Sinan al-Battani. Namun, para penulis abad pertengahan lebih sering menyebutnya dengan nama Albetegni atau al-Batenus.

AL-BATTANI


Ketertarikan al-Battani pada benda-benda langit membuatnya menekuni bidang astronomi. Ia mendapat pendidikan tersebut dari sang ayah, Jabir Ibn San’an al-Battani, yang juga seorang ilmuwan. Dengan kecerdasannya, al-Battani mampu menguasai semua pelajaran yang diberikan ayahnya dan menggunakan sejumlah peralatan astronomi dalam waktu yang cukup singkat. Beberapa waktu kemudian, ia meninggalkan Harran menuju kota Raqqa yang terletak di tepi sungai Eufrat. Di kota ini, ia melanjutkan pendidikan dan mulai melakukan bermacam penelitian, yang kemudian menghasilkan sejumlah penemuan penting yang berguna bagi masyarakat dan pemerintah. Pada tanggal 14 September 786, khalifah Harun al-Rasyid, khalifah kelima Dinasti Abbasiyah, membangun sejumlah istana di kota tersebut sebagai bentuk penghargaannya atas penemuan al-Battani. Usai pembangunan tersebut, kota Raqqa berubah menjadi pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan perdagangan yang ramai.

Sebagai seorang ahli astronomi, al-Battani menghasilkan sejumlah penemuan astronomi yang penting bagi dunia. Ia adalah ilmuwan pertama yang mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan bumi mengelilingi matahari, yaitu 365 hari, 5 jam, 46 menit, dan 24 detik. Angka yang ditunjukkan dalam perhitungannya itu mendekati angka yang dihasilkan para ilmuwan modern saat melakukan penelitian yang sama dengan menggunakan alat yang lebih akurat. Ketika alat astronomi canggih belum ditemukan, al-Battani dikenal telah melakukan penelitian terhadap bermacam benda langit.

Selama 42 tahun, al-Battani terus melakukan penelitian semacam itu dan menghasilkan sejumlah penelitian yang mengagumkan. Ia menemukan garis bujur terjauh matahari mengalami pengingkatan 16,470 sejak perhitungan yang dilakukan Ptolomeus beberapa abad sebelumnya. Hal ini kemudian menghasilkan satu penemuan penting tentang gerak lengkung matahari. Al-Battani juga bisa menentukan kemiringan ekliptik, panjang musim, dan orbit matahari secara akurat. Ia bahkan berhasil menemukan orbit bulan dan planet, dan menetapkan Teori Kemunculan Bulan Baru. Pada tahun 1749, penemuan al-Battani mengenai garis lengkung bulan dan matahari digunakan Dunthorne untuk menentukan gerak akselerasi bulan.
                                      Biografi Al-Battani: Peneliti Planet-Planet
Pada masanya, al-Battani adalah satu-satunya ahli astronomi yang mampu menggambarkan ukuran bulan dan matahari secara akurat. Al-Battani dianggap sebagai guru, terutama bagi orang-orang Eropa, karena ia banyak mengenalkan terminologi astronomi yang berasal dari bahasa Arab, seperti azimuthzenith, dan nadir. Ia adalah penerus al-Farghani.

Karya al-Battani yang sangat berpengaruh adalah Kitab Ma’rifat Matali al-Buruj fi ma Bayna Arba al-Falak, sebuah buku ilmu pengetahuan tentang zodiak dan pemecahan soal-soal astrologi. Selain itu, dikenal pulaRisalah fi Tahkik Akdar al-Ittisalat, yaitu sebuah uraian mengenai sejumlah penemuan dan penerapan astrologi. Karya al-Battani lainnya adalah az-Zaujush li Battani (Almanak Versi al-Battani). Buku ini memuat enam puluh tema, seperti pembagian planet, lingkaran kecil yang mengitari lingkaran besar, garis orbit, dan sirkulasi peredaran planet. Di kemudian hari, buku ini disunting oleh Carlo Nallino dan disimpan di Perpustakaan Oskorial, Spanyol. Salah satu buku astronomi karya al-Battani yang juga terkenal adalah Kitab al-Zij. Pada abad XII, buku ini diterjemahkan dalam bahasa Latin dengan judul De Scienta Stellerum u De Numeris Stellerum et Motibusoleh Plato dari Tivoli. Terjemahan tertua dari karya tersebut masih tersimpan di Vatikan.

Dalam bidang matematika, nama al-Battani juga cukup dikenal masyarakat dunia. Salah satu kontribusinya di bidang ini adalah upayanya melakukan perbaikan terhadap kaidah-kaidah dasar hukum astronomi yang didasarkan pada penemuan Ptolomeus yang tertulis dalam Almagest.

Al-Battani meninggal dunia pada tahun 927 di Irak.

AS-SUFI


Nama lengkap as-Sufi adalah Abdul Rahman bin Umar as-Sufi Abul Husayn. Ia lahir pada tahun 903 (291 H) di Rayy, Persia. Abdul Rahman as-Sufi dikenal sebagai salah satu ahli astronomi yang bekerja pada kerajaan, yang saat itu dipimpin oleh Adud al-Dawla. Karena prestasinya yang hebat dan pengetahuannya yang luas, ia diangkat menjadi salah satu cendekiawan kebanggaan sang raja.

Karya as-Sufi yang paling terkenal adalah Kitab al-Kawakib ats-Tsabit al-Musawwar, sebuah katalog bintang yang dibuat berdasarkan pengamatannya sendiri. Katalog ini merupakan atlas bintang pertama yang membahas tentang nebula pada rasi Andromeda, sekaligus atlas bintang paling penting karena mengungkap sejumlah perubahan yang dialami beberapa bintang utama dalam waktu sepuluh abad. As-Sufi mendedikasikan buku yang ditulisnya sekitar tahun 965 (355 H) ini kepada Buyld Emir Adud al-Dawla.

Kitab al-Kawakib ats-Tsabit al-Musawwar adalah salah satu manuskrip berilustrasi paling tua yang mengupas beberapa temua Ptolomeus. Ilustrasinya dibuat begitu menarik untuk menggambarkan konstelasi atau tatanan bintang yang terlebih dahulu telah disusun oleh Utarid bin Muhammad. Namun, ada pula sumber lain yang menyebutkan bahwaKitab al-Kawakib ats-Tsabit al-Musawwar adalah buku terjemahan dari sejumlah naskah ilmiah Yunani, sepertiAlmagest karya Ptolomeus. Jika keduanya dibandingkan, karya astronomi Yunani yang penuh simbol-simbol astronomi memang hampir mirip dengan tatanan bintang dalam buku karya as-Sufi tersebut. Namun jika diperhatikan lebih seksama, terlihat bahwa ilustrasi tatanan bintang tersebut berwujud figur tokoh terkemuka yang dibentuk dari rangkaian sejumlah titik merah. Kini, manuskrip awal karya as-Sufi tersebut masih tersimpan di Perpustakaan Bodleian, setelah sebelumnya disalin, diilustrasi kembali, dan dikaligrafi oleh salah satu putra as-Sufi (1009 - 1010).
Biografi Abdul Rahman As-Sufi: Ilmuwan Muslim Penulis Buku Astronomi
Selain karya di atas, masih banyak karya as-Sufi yang diilustrasi kembali dengan gaya dan judul yang berbeda sesuai perkembangan zaman. Sebuah teks dan terjemahan kata pengantarnya pernah diterbitkan oleh Caussin de Parceval dengan judul Notices at Extraits, sedangkan oleh H.C.F.C. Schjellerup dengan judul Description des Etoiles Fixes par Abd al-Rahman as-Sufi (St. Petersburg, 1874). Pada tahun 1953, naskah yang sama diterbitkan dalam bahasa Arab, setelah manuskripnya yang berada di Paris disunting terlebih dahulu oleh M. Nazamuddin.

As-Sufi juga pernah menulis sebuah buku pegangan tentang astronomi dan astrologi, serta sebuah risalah tentang astrolobe. Selain menulis, as-Sufi juga pernah membuat sebuah peta bumi dari bahan perak. Ia mempersembahkan peta ini untuk Raja Adud al-Dawla. Kini, peta tersebut tersimpan di Perpustakaan Istana Dinasti Fatima di Kairo.

Abdul Rahman as-Sufi meninggal dunia pada tahun 986 (376 H).

IBNU YUNUS


Sebagai bentuk pengakuan dunia astronomi terhadap kiprahnya, namanya diabadikan pada sebuah KAWAH di PERMUKAAN BULAN. Salah satu kawah di permukaan bulan ada yang dinamakan Ibn Yunus. Ia menghabiskan masa hidupnya selama 30 tahun dari 977-1003M untuk memperhatikan benda-benda di angkasa. Dengan menggunakan astrolabe yang besar, hingga berdiameter 1,4meter, Ibnu Yunus telah membuat lebih dari 10 ribu catatan mengenai kedudukan matahari sepanjang tahun.


Karya Ibnu Yunus 'paling terkenal dalam astronomi Islam adalah al-Zij al-Kabir al-Hakimi (1000 M), adalah buku panduan dari tabel astronomi yang berisi pengamatan yang sangat akurat, banyak yang mungkin telah diperoleh dengan instrumen astronomi yang sangat besar. Menurut NM Swerdlow, Zij al-Kabir al-Hakimi adalah "sebuah karya orisinalitas luar biasa. Sayang hanya lebih dari setengahnya yang selamat (diketahui)".

Yunus mengungkapkan solusi dalam zij tanpa simbol matematika, namun Delambre mencatat di tahun 1819 terjemahannya dari tabel Hakemite bahwa dua metode Ibnu Yunus 'untuk menentukan waktu dari ketinggian matahari atau bintang, setara dengan identitas trigonometri 2cos (a ).cos (b) = cos (a + b) + cos (ab) diidentifikasi dalam naskah abad ke-16 Johannes Werner pada bab kerucut. Sekarang diakui sebagai salah satu formula Werner, formula ini penting untuk pengembangan prosthaphaeresis dan logaritma beberapa puluh tahun kemudian. Ibnu Yunus juga menjelaskan 40 konjungsi planet dan 30.

IBNU AL-SYATIR


Ide Ibn Al-Syatir tentang PLANET BUMI MENGELILINGI MATAHARI telah Menginspirasi Copernicus. Akibatnya, COPERNICUS dimusuhi gereja dan dianggap pengikut setan. Demikian juga GALILEO, yang merupakan pengikut Copernicus, secara resmi dikucilkan oleh Gereja Katolik dan dipaksa untuk bertobat, namun dia menolak.

Ibnu Al-Shatir merombak habis Teori Geosentris yang dicetuskan Claudius Ptolemaeus atau Ptolemy (90 SM– 168 SM). Secara matematis, al-Shatir memperkenalkan adanya epicycle yang rumit (sistem lingkaran dalam lingkaran). Al-Shatir mencoba menjelaskan bagaimana gerak merkurius jika bumi menjadi pusat alam semestanya dan merkurius bergerak mengitari bumi.

Model bentuk Merkurius Ibnu al-Shatir menunjukkan penggandaan dari epicycle menggunakan Tusi-couple, sehingga menghilangkan eksentrik dan equant teori Ptolemaic. Menurut George Saliba dalam karyanya A History of Arabic Astronomy: Planetary Theories During the Golden Age of Islam, Kitab Nihayat al-Sul fi Tashih al-Usul, merupakan risalah astronomi Ibnu Al-Shatir yang paling penting. 

"Dalam kitab itu, secara drastis ia mereformasi model matahari, bulan, dan planet Ptolemic. Dengan memperkenalkan sendiri model non-Ptolemic yang menghapuskan epicycle pada model matahari, yang menghapuskan eksentrik dan equant. Dengan memperkenalkan epicycle ekstra pada model planet melalui model Tusi-couple, dan yang menghilangkan semua eksentrik/eccentric, epicycle dan equant di model bulan," jelas Saliba.

Model Ibn al-Shatir untuk penampilan Merkurius, menunjukkan perbanyakan epicycles menggunakan Tusi-couple, menghilangkan eksentrik dan equant teori Ptolemaic.

Sebelumnya, aliran Maragha hanya berpatokan pada model yang sama dengan model Ptolemaic. Model geometris Ibnu al-Shatir merupakan karya pertama yang benar-benar unggul daripada model Ptolemaic karena modelnya ini lebih baik sesuai dengan pengamatan empiris. 

Ibnu al-Shatir juga berhasil melakukan pemisahan filsafat alam dari astronomi dan menolak model empiris Ptolemic dibanding filsafat dasar. Tidak seperti astronomer sebelumnya, Ibnu al-Shatir tidak peduli dengan mempertahankan teori prinsip kosmologi atau filsafat alam (atau fisika Aristoteles), melainkan untuk memproduksi sebuah model yang lebih konsisten dengan pengamatan empiris. 

Modelnya menjadi lebih baik sesuai dengan pengamatan empiris daripada model-model sebelumnya yang diproduksi sebelum dia. Saliba menambahkan karyanya tersebut menjadi karya penting dalam astronomi, yang dapat dianggap sebagai sebuah "Revolusi ilmiah sebelum Renaissance".

Dalam membuat model barunya tersebut, Ibnu al-Shatir melakukan pengujian dengan melakukan pengamatan empiris. Tidak seperti astronomer sebelumnya, Ibnu al-Shatir umumnya tidak keberatan terhadap falsafah astronomi Ptolemaic, tetapi ia ingin menguji seberapa jauh teori Ptolemy cocok dengan pengamatan empirisnya. 

Dia menguji model Ptolemaic, dan jika ada yang tidak cocok dengan pengamatannya, maka ia akan merumuskan sendiri model non-Ptolemaic pada bagian yang tidak cocok dengan pengamatannya. Pengamatannya yang akurat membuatnya yakin untuk menghapus epicycle dalam model matahari Ptolemaic. 

Ibnu al-Shatir juga merupakan astromer pertama yang memperkenalkan percobaan dalam teori planet untuk menguji model dasar empiris Ptolemaic. Saat menguji model matahari Ptolemaic, Ibnu al-Shatir memaparkan ''pengujian nilai Ptolemaic untuk bentuk dan ukuran matahari dengan menggunakan pengamatan gerhana bulan." 

"Karyanya tentang percobaan dan pengamatannya memang telah musnah, namun buku The Final Quest Concerning the Rectification of Principles adalah milik al-Shatir,'' papar Saliba.

Pengaruh Karya Ibnu Al-Shatir"Meskipun sistemnya merupakan geosentri yang kuat, dia telah menghapuskan equant dan accentric Ptolemaic dan rincian sistem matematikanya hampir serupa dengan karya Copernicus' De revolutionibus," jelas V Roberts and E. S. Kennedy dalam karyanya "The Planetary Theory of Ibn al-Shatir".

Menurut Saliba, model bulan Copernicus juga tidak berbeda dengan model Ibnu al-Shatir. Dengan demikian dapat percaya bahwa model Ibnu al-Shatir telah diadaptasi oleh Copernicus dalam model heliocentric. 

"Walaupun masih belum jelas bagaimana ini dapat terjadi, diketahui bahwa manuskrip Byzantine Yunani yang berisi Tusi-couple tempat Ibnu al-Shatir bekerja telah mencapai Italia pada abad ke-15 M," jtutur AI Sabra dalam karyanya "Configuring the Universe: Aporetic, Problem Solving, and Kinematic Modeling as Themes of Arabic Astronomy". 

Saliba menambahkan, diagram model heliocentric yang dikembangkan Copernicus, termasuk tanda-tanda dari poin, hampir sama dengan diagram dan tanda-tanda yang digunakan Ibnu al-Shatir pada model geosentrisnya. "Sehingga sangat mungkin bahwa Copernicus terpengaruh karya Ibnu al-Shatir," ujarnya.

YM Faruqi dalam karyanya " Contributions of Islamic scholars to the scientific enterprise", mengungkapkan, "Teori pergerakan bulan Ibnu al-Shatir sangat mirip dengan yang dicetuskan Copernicus sekitar 150 tahun kemudian". Begitulah Ilmuwan Muslim al-Shatir mampu memberi pengaruh bagi dunia Barat.

Kontribusi Al-Shatir dalam Bidang Teknik

Jam Astrolab

David A King dalam bukunya bertajuk The Astronomy of the Mamluks menjelaskan bahwa Ibnu al-Shatir menemukan jam astrolabe pertama di awal abad ke-14 M. 

Astrolab adalah instrumen astronomi zaman dahulu yang digunakan oleh astronom, navigator, dan astrolog pada era klasik. Astrolab banyak digunakan untuk menentukan lokasi dan memprediksi posisi matahari, bulan, planet, dan bintang; menentukan waktu lokal dengan diketahui letak bujur dan letak lintang; survei; serta triangulasi. Pada era Islam abad pertengahan, astrolab terutama digunakan untuk mempelajari astronomi, navigasi, survei, penentu waktu, salat, serta menentukan arah kiblat. 

Sebuah Risalah menjelaskan pentingnya Astrolabe oleh Nasir al-Din al-Tusi

Jam Matahari

Menurut catatan sejarah, sundial atau jam matahari merupakan jam tertua dalam peradaban manusia. Jam ini telah dikenal sejak tahun 3500 SM. Pembuatan jam matahari di dunia Islam dilakukan oleh Ibnu al-Shatir, seorang ahli Astronomi Muslim ( 1304-1375 M). "Ibnu al-Shatir merakit jam matahari yang bagus sekali untuk menara Masjid Umayyah di Damaskus," ujar David A King dalam karyanya bertajuk The Astronomy of the Mamluks. 

Berkat penemuannya itu, ia kemudian dikenal sebagai muwaqqit (pengatur waktu ibadah) pada Masjid Umayyah di Damaskus, Suriah. Jam yang dibuat Ibnu al-Shatir itu masih tergolong jam matahari kuno yang didasarkan pada garis jam lurus. Ibnu al-Shatir membagi waktu dalam sehari dengan 12 jam, pada musim dingin waktu pendek, sedangkan pada musim panas waktu lebih panjang. Jam mataharinya itu merupakan polar-axis sundial paling tua yang masih tetap eksis hingga kini. 

"Jam mataharinya merupakan jam tertua polar-axis sundial yang masih ada. Konsep kemudian muncul di Barat jam matahari pada 1446," ungkap Jones, Lawrence dalam karyanya "The Sundial And Geometry". 

Kompas 

David A.King mengatakan Ibnu al-Shatir juga menemukan kompas, sebuah perangkat pengatur waktu yang menggabungkan jam matahari dan kompas magnetis pada awal abad ke-14 M.
























BAB III

PENUTUP



KESIMPULAN


Dari pembahasan yang telah dilakukan diatas, kamipun menarik kesimpulan bahwasannya Islam, merupakan agama yang paling sempurna. Segala yang ada di alam semesta ini telah ditetapkan oleh Allah SWT. Jika kita mengkaji ulang, segala sesuatu yang ada di dunia ini, pada awalnya bersumber dan bermuara dari Islam. Seperti halnya Ilmu Astronomi. Semua yang berkenaan dengan ilmu astronomi telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Lalu, bagaimana dengan sekarang. Mengapa perkembangan ilmu astronomi cenderung berasal dari Dunia barat? . Karena, generasi-generasi Islam sekrang sudah tidak seperti dulu. Sebenarnya, pada kenyataannya bangsa Barat memanfaatkan Al-Qur’an untuk memperdalam Ilmu pengetahuan tentunya tidak dengan keimanan dan ketaqwaan. Oleh karenanya, kita sebagai generasi muda Islam hendaknya berusaha untuk memajukan Islam.


Demikianlah makalah yang dapat kami buat.  Tentunya, makalah kami ini memiliki banyak sekali kekurangan. Atas segala kekurangan tersebut, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga apa yang dapat kami tuliskan ini bermanfaat bagi pembaca, dan meningkatkan motivasi serta wawasan pembaca. Sekian penutup dari kami semoga berkenan di hati dan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

















Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

More Closer?

dateng aja kerumah!

Tanyakan padaku

Popular Posts

Categories

MAKALAH SKI PERKEMBANGAN ILMU ASTRONOMI PADA MASA PEMERINTAHAN DINASTI ABBASIYAH


MAKALAH SKI

PERKEMBANGAN  ILMU  ASTRONOMI PADA  MASA  PEMERINTAHAN  DINASTI ABBASIYAH

 

NAMA KELOMPOK
1.   RAFIKA HAYATI NASUTION
2.   MUTIA SALWA
3.   LISA AMALIA
4.   ANITA

VIII-A
MTsN. LUBUK PAKAM 2012/2013




 

Kata Pengantar

Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah segala puji syukur selalu kami haturkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, serta inayah-Nya kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan tugas penyusunan Makalah Sejarah Kebudayaan Islam dengan judul Perkembangan ilmu astronomi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah.

              Kami selaku penyusun makalah menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bpk………………………. selaku guru mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini, orang tua yang selalu mendukung kelancaran tugas kami, serta pada tim anggota kelompok  yang selalu kompak dan konsisten dalam penyelesaian tugas ini

             
Makalah Perkembangan ilmu astronomi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam yang dibimbing oleh Bpk………………………….

            Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami tidak menutup diri dari para pembaca akan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan dan peningkatan kualitas penyusunan makalah dimasa yang akan datang.

            Dan kami berharap, semoga makalah ini bisa memberikan suatu kemanfaatan bagi kami penyusun dan para pembaca semuanya. Amin.



Lubuk Pakam, 26 Nivember 2013


Penyusun






DAFTAR ISI


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 





BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG

           Sebagai salah satu ilmu pengetahuan tertua dalam peradaban manusia, Astronomi kerap dijuluki sebagai 'ratu sains'. Astronomi memang menempati posisi yang terbilang istimewa dalam kehidupan manusia. Sejak dulu, manusia begitu terkagum-kagum ketika memandang kerlip bintang dan pesona benda-benda langit yang begitu luar biasa. Fenomena langit sangatlah menarik rasa ingin tahu manusia. Sebuah bukti adalah adanya sejarah para ilmuan yang mencoba untuk mengamati dan mempelajari fenomena alam tersebut. 
         
          Awalnya, manusia menganggap fenomena langit sebagai sesuatu yang magis. Seiring berputarnya waktu dan zaman, manusia pun memanfaatkan keteraturan benda-benda yang mereka amati di angkasa untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti penanggalan. Dengan mengamati langit, manusia pun bisa menentukan waktu utuk pesta, upacara keagamaan, waktu untuk mulai menabur benih dan panen.

         
Seiring perkembangan zaman dan peradaban, ilmu perbintangan ini mulai dikembangkan di berbagai daerah. Astronomi sistematis dengan perhitungan matematis mulai digunakan pertama kali oleh orang-orang dari Babilonia. Sejak itu, perkembangan astronomi semakin pesat dan luas.

Setelah Islamisasi dilakukan hampir di seluruh jazirah Arab, ada beberapa bukti bahwa orang-orang Islam sudah mulai mempelajari ilmu perbintangan yang diadopsi dari India dan Yunani kuno. Dan seiring dengan perkembangang ilmu pengetahuan pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, Ilmu Astronomi merupakan salah satu ilmu yang berkembang pesat pada saat itu. Oleh karenanya, kami mencoba untuk mengkaji perkembangan ilmu Astronomi pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah.


- Bagaimana perkembangan Ilmu Astronomi Islam pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah?
- Siapa sajakah tokoh-tokoh Ilmuwan Muslim yang mengembangkan Ilmu Astronomi pada saat itu?

- Mengetahui apa itu Astronomi.
- Mengetahui perkembangan Ilmu Astronomi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah
- Mengetahui Pengaruh Islam dalam perkembangan ilmu Astronomi dan pengaruh Ilmu Astronomi dalam Islam.

































Kata astronomi awalnya berasal dari bahwa Yunani kuno yaitu astron yang berarti bintang dan nomos yang berarti hukum atau budaya. Maka apabila digabungkan astron-nomos adalah hukum atau budaya bintang-bintang.Ilmu Astronomi terkenal pula dengan ilmu Falak, yaitu ilmu yang mempelajari benda-benda langit, seperti matahari, bulan, dan planet-planet. Pengetahuan tentang posisi benda-benda langit tersebut merupakan hasil pengamatan yang dilakukan dengan alat-alat tertentu yang dilakukan secara berulang-ulang.


Astronomi ialah cabang ilmu alam yang melibatkan pengamatan benda-benda langit (seperti halnya bintang, planet, komet, nebula, gugus bintang, atau galaksi) serta fenomena-fenomena alam yang terjadi di luar atmosfer Bumi (misalnya radiasi latar belakang kosmik (radiasi CMB)). Ilmu ini secara pokok mempelajari pelbagai sisi dari benda-benda langit — seperti asal-usul, sifat fisika/kimia, meteorologi, dan gerak — dan bagaimana pengetahuan akan benda-benda tersebut menjelaskan pembentukan dan perkembangan alam semesta.
Astronomi sebagai ilmu adalah salah satu yang tertua, sebagaimana diketahui dari artifak-artifak astronomis yang berasal dari era prasejarah; misalnya monumen-monumen dari Mesir dan Nubia, atau Stonehenge yang berasal dari Britania. Orang-orang dari peradaban-peradaban awal semacam Babilonia, Yunani, Cina, India, dan Maya juga didapati telah melakukan pengamatan yang metodologis atas langit malam. Akan tetapi meskipun memiliki sejarah yang panjang, astronomi baru dapat berkembang menjadi cabang ilmu pengetahuan modern melalui penemuan teleskop.
Cukup banyak cabang-cabang ilmu yang pernah turut disertakan sebagai bagian dari astronomi, dan apabila diperhatikan, sifat cabang-cabang ini sangat beragam: dari astrometri, pelayaran berbasis angkasa, astronomi observasional, sampai dengan penyusunan kalender dan astrologi. Meski demikian, dewasa ini astronomi profesional dianggap identik dengan astrofisika.
Pada abad ke-20, astronomi profesional terbagi menjadi dua cabang: astronomi observasional dan astronomi teoretis. Yang pertama melibatkan pengumpulan data dari pengamatan atas benda-benda langit, yang kemudian akan dianalisis menggunakan prinsip-prinsip dasar fisika. Yang kedua terpusat pada upaya pengembangan model-model komputer/analitis guna menjelaskan sifat-sifat benda-benda langit serta fenomena-fenomena alam lainnya. Adapun kedua cabang ini bersifat komplementer — astronomi teoretis berusaha untuk menerangkan hasil-hasil pengamatan astronomi observasional, dan astronomi observasional kemudian akan mencoba untuk membuktikan kesimpulan yang dibuat oleh astronomi teoretis.
Astronom-astronom amatir telah dan terus berperan penting dalam banyak penemuan-penemuan astronomis, menjadikan astronomi salah satu dari hanya sedikit ilmu pengetahuan di mana tenaga amatir masih memegang peran aktif, terutama pada penemuan dan pengamatan fenomena-fenomena sementara.
Astronomi harus dibedakan dari astrologi, yang merupakan kepercayaan bahwa nasib dan urusan manusia berhubungan dengan letak benda-benda langit seperti bintang atau rasinya. Memang betul bahwa dua bidang ini memiliki asal-usul yang sama, namun pada saat ini keduanya sangat berbeda.[1]
Pada awalnya, astronomi hanya melibatkan pengamatan beserta prediksi atas gerak-gerik benda-benda langit yang terlihat dengan mata telanjang. Pada beberapa situs seperti Stonehenge, peradaban-peradaban awal juga menyusun artifak-artifak yang diduga memiliki kegunaan astronomis.Observatorium-observatorium purba ini jamaknya bertujuan seremonial, namun dapat juga dimanfaatkan untuk menentukan musim, cuaca, dan iklim — sesuatu yang wajib diketahui apabila ingin bercocok tanam — atau memahami panjang tahun.
Sebelum ditemukannya peralatan seperti teleskop, penelitian harus dilakukan dari atas bangunan-bangunan atau dataran yang tinggi, semua dengan mata telanjang. Seiring dengan berkembangnya peradaban, terutama di Mesopotamia, Cina, Mesir, Yunani, India, dan Amerika Tengah, orang-orang mulai membangun observatorium dan gagasan-gagasan mengenai sifat-sifat semesta mulai ramai diperiksa. Umumnya, astronomi awal disibukkan dengan pemetaan letak-letak bintang dan planet (sekarang disebut astrometri), kegiatan yang akhirnya melahirkan teori-teori tentang pergerakan benda-benda langit dan pemikiran-pemikiran filosofis untuk menjelaskan asal-usul Matahari, Bulan, dan Bumi. Bumi kemudian dianggap sebagai pusat jagat raya, sedang Matahari, Bulan, dan bintang-bintang berputar mengelilinginya; model semacam ini dikenal sebagai model geosentris, atau sistem Ptolemaik (dari nama astronom Romawi-Mesir Ptolemeus).


Salah satu ilmu yang berkembang cepat di dunia Islam adalah astronomi. Dalam ilmu perbintangan, banyak ilmuwan muslim mempelajari metode Batlamyus dan karya-karya astronom asal Iran dan India. Setelah itu, mereka mampu melakukan berbagai inovasi di dunia astronomi seperti jam matahari, astrolabe, alat peneropong dan alat penentu waktu.

Astrolabe yang dibuat para ilmuwan muslim mempunyai ketelitian yang tidak kalah dengan ketelitian komputer saat ini. Dalam sejarah juga disebutkan bahwa para ilmuwan muslim di bidang penentuan waktu tercatat sebagai penggagas ilmu ini, bahkan Barat sendiri berkiblat kepada mereka.

Salah satu karya penting para ilmuwan muslim adalah upaya mereka dalam menentukan ciri-ciri bumi. Menurut sejarah, Makmoun, khalifah Dinasti Abbasiah saat itu, memerintahkan para astronom supaya menghitung luas planet bumi. Para ilmuwan di masa itu menelaah karya-karya Yunani dan kemudian berhasil menemukan metode baru yang luar biasa. Setelah itu, Abu Raihan Biruni menemukan inovasi baru dengan astrolobe untuk mengetahui wilayah planet bumi. Dalam karya yang terkenal dengan ilmu "jelajah bumi", Biruni menjelaskan inovasinya.

Di bidang ilmu perbintangan, kerja keras para ilmuwan muslim bermula dari penerjemahan karya-karya Batlamyus. Setelah itu, banyak karya-karya yang menjelaskan catatan Batlamyus. Terkait hal ini,  ilmuwan muslim seringkali mengkritik pandangan-pandangan Batlamyus dan menentang penjelasan ilmuwan asal Yunani ini. Saat ini,  pandangan para ilmuwan muslim di bidang ilmu perbintangan terkenal dengan istilah terori pra-copernicus.

Ada tiga karya terjemah dan penjelasan terkait perbintangan Batlamyus yang hingga sekarang masih ada. Tak dapat dipungkiri, karya-karya Batlamyus mendorong  para ilmuwan muslim menelaah ilmu perbintangan dan menghitung orbit planet-planet yang bernama zij. Dalam dunia Islam, jumlah zij mencapai 220.

Para astronom dalam berbagai risetnya berupaya mengungkap populasi bintang. Hasilnya, para ilmuwan berhasil mendapatkan data yang lengkap. Peradaban Islam telah turut memberi nama ratusan hingga ribuan bintang dalam populasi galaksi. Dari sederet nama bintang yang ditemukan dan dinamai ilmuwan Muslim itu, hingga kini masih ada yang dipakai, bahkan ada pula yang sudah lenyap dan tak digunakan lagi oleh peradaban modern. Di antara masalah penting di dunia astronomi adalah menentukan masa tahun matahari. Riset panjang umat para ilmuwan muslim untuk mengetahui masa tahun matahari menghasilkan kalender di dunia Islam.

Terkait kalender tahun matahari tidak terlepas dari peran ilmuwan Muhammad Ibnu Jabir al-Harrani al-Batani dan Abu Jafar Muhammad ibn Hasan Khazini. Jasa al-Batani terhadap kalender Islam sangatlah besar. Di sini, al-Batani mengusulkan teori baru dalam menentukan kondisi terlihatnya bulan baru, yang kita sebut sebagai hilal. Tak hanya itu, al-Batani juga berhasil mengubah sistem perhitungan sebelumnya yang membagi satu hari ke dalam 60 bagian (jam) menjadi 12 bagian (12 jam), dan setelah ditambah 12 jam waktu malam sehingga berjumlah 24 jam.

Sudut kemiringan bumi terhadap matahari saat berotasi juga ditemukan oleh al-Batani, yaitu sebesar 23035. Bahkan lamanya bumi berevolusi terhadap matahari, secara akurat mampu dihitung al-Batani sebanyak 365 hari, 5 jam, 46 menit, dan 24 detik.

          Al – Qur`an juga menjelaskan beberapa teori yang berkaitan dengan Asronomi. Mulanya di langit ada sekelompok bintang yang nampak seperti kabut  yang dinamakan nebula,  lalu ada pemisahan kedua yang membentuk galaksi, lebih jauh; terjadi pemisahan menjadi tata surya yang melahirkan matahari, sejumlah planet, bulan dan bumi. Allah telah menjelaskan hal ini dalam Surah Anbiya.
http://andihasad.files.wordpress.com/2008/07/qs-al-anbiyaa-30.jpg?w=468&h=89
 Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka    tiada juga beriman?.” ( QS. Al Anbiyaa’ [21]:30 ).
Ayat ini bicara tentang  big bang theory, bayangkan, apa yang kita temukan masa kini, Al-Qur’an telah menyebutkannya lebih dari 1400 tahun  yang  lalu. Allah juga mengatakan  dalam surah Fushshilat :
http://andihasad.files.wordpress.com/2008/07/qs-fushshilat-41-11.jpg?w=468&h=83
Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati. ( QS. Fushshilat [41] : 11 ).
Dalam bahasa  arab kata dukhan artinya asap. Jika anda bertanya kepada ilmuan bagaimana awal alam semesta, mereka akan mengatakan bahwa alam semesta pada mulanya bukan berbentuk padat tapi gas yang tampak seperti asap.

Dulu, orang menganggap bahwa bumi ini datar, sehingga mereka takut pergi terlalu jauh karena nanti bisa terjatuh,baru pada tahun 1597 ketika Francis Drake; berlayar mengelilingi bumi kemudian membuktikan  bahwa bumi ini berbentuk bulat. Bukankah Allah telah menyebutkannya dalam  Al-Qur’an surah  Luqman.
http://andihasad.files.wordpress.com/2008/07/qs-luqman-31-29.jpg?w=468&h=100
Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan matahari dan bulan masing-masing berjalan sampai kepada waktu yang ditentukan, dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( QS. Luqman [31] : 29 ).

Penyatuan adalah proses yang lambat dan bertahap. Malam secara perlahan dan bertahap berubah menjadi siang dan siang secara perlahan dan bertahap berubah menjadi malam, gejala ini hanya mungkin terjadi jika bumi berbentuk bulat, tidak mungkin bumi berbentuk datar, jika bumi berbentuk datar maka akan ada perubahan yang mendadak. Hal ini diperkuat oleh Allah pada firman-Nya  dalam surah Az-zumar .
http://andihasad.files.wordpress.com/2008/07/qs-az-zumar-39-5.jpg?w=468&h=133
Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan  menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah Dialah Yang    Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. ( QS. Az Zumar [39] : 5 )



Kata Kawwara dalam bahasa Arab berarti melewati / menggulung. Gejala ini hanya akan terjadi jika bumi berbentuk bulat dan tidak mungkin terjadi jika bumi berbentuk datar.   Firman Allah dalam surah An-Naazi’aat .
http://andihasad.files.wordpress.com/2008/07/qs-an-naazic2b4aat-79-30.jpg?w=468



Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya.   ( QS. An Naazi´aat [79] : 30 ).

Kata dasar dari Dahahaa berarti keteluran, bukan sembarang telur tetapi khusus mengacu pada  telur burung unta. Sedikit menyempit dari puncaknya dan menonjol dari pusat. Jadi Al-Qur’an telah menunjukkan bentuk  tepat  geospherical dari bumi lebih 14 abad yang lalu.

Sebelumnya kita berpikir bahwa cahaya bulan adalah cahayanya sendiri, barulah akhir-akhir ini kita tahu bahwa cahaya bulan adalah cahaya matahari yang dipantulkan. Bukankah Allah telah mengatakannya dalam surah  Al-Furqan ayat 61, dalam surah Yunus  ayat 5. Pesan yang sama juga diulang  pada surah Nuh.
http://andihasad.files.wordpress.com/2008/07/qs-nuh-71-16.jpg?w=468


Dan    Allah     menciptakan   padanya   bulan sebagai cahaya dan menjadikan  matahari   sebagai pelita?  ( QS. Nuh [71] : 16 ).
Sebelumnya ilmuan Eropa mengatakan bahwa bumi berdiri sendiri sebagai pusat planet dan benda-benda langit lainnya termasuk matahari mengelilingi bumi. Ini dikenal sebagai teori geocentrism. Teori ini dipercaya para ahli pada abad ke-2 SM dan bertahan selama 16 abad lamanya, sampai Copernicus mengatakan bahwa bumi dan planet lainnya berputar mengelilingi matahari.

Tahun 1609, Yohannes Kippler menulis dalam bukunya Astronomi dan Norwegia, bahwa bukan hanya bumi dan planet yang berputar mengelilingi matahari, mereka juga berputar diporosnya sendiri.
Disekolah kita bahkan diajarkan bahwa bumi dan planet berputar pada porosnya sendiri dan berputar mengelilingi matahari, sedangkan  matahari tetap dan tidak berputar pada porosnya, tapi Allah  berfirman pada surah Al-Anbiyaa’.
http://andihasad.files.wordpress.com/2008/07/qs-al-anbiyaa-21-33.jpg?w=468&h=44
Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya ( QS. Al Anbiyaa’ [21] : 33 )
Kata dasar dari Yasbahuna berarti gerakan dari badan yang bergerak.Hal ini juga menunjukkan bahwa Matahari juga berputar pada porosnya.  Itulah kajian ilmu astronomi menurut Islam. Al- Qur’an.


Pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, bangsa Arab menjadi penghubung kebudayaan Yunani dan Eropa. Bangsa Arab memiliki sifat, kepribadian, serta keimanan yang murni. Mereka percaya bahwa manusia diciptakan semata-mata oleh Allah SWT. Oleh karena itu, segala ilmu yang mereka peroleh dari bangsa Yunani  dianggap sebagai amanat yang harus dipelihara dan disampaikan kepada umat manusia. Kemudian, bangsa Arab menyusun komentar sebaik-baiknya tanpa memutarbalikkan kenyataan yang mereka peroleh dan menyampaikan hal itu kepada umat manusia.

          Ilmuwan-ilmuwan Islam, juga telah banyak menyumbangkan karya-karyanya kepada dunia Astronomi, diantaranya adalah sebagai berikut :

 Abu Abdallah Muhammad ibn Ibrahim al-Farazi (796-806) adalah seorang filsuf muslim, matematikawan, dan astronom.Beliau lahir di tengah keluarga ilmuwan. Ayah beliau, Ibrahim al Fazari, juga seorang astronomer dan matematikawan. Beberapa sumber mengatakan bahwa dilihat dari nama, beliau berasal dari Arab tapi mempelajari ilmu di Persia dan sumber yang lain mengatakan bahwa beliau adalah seorang Persia. Al Farazi menetap serta berkarya di Baghdad, Irak, ibu kota kekhalifahan Abbasiyah.


         Al Farazi adalah salah satu astronom paling awal di dunia Islam. Beliau memegang peran penting dalam kemajuan ilmu astronomi di masa Abbasiyah. Al Fazari menerjemahkan beberapa literatur asing ke dalam bahasa Arab dan Persia. Bersama dengan beberapa cendekiawan lain, seperti Naubakht, Masha'Alhah, dan Umar ibnu al-Farrukhan al-Tabari, beliau meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan di dunia Islam. Dinasti Abbasiyah yang berkuasa saat itu memberikan peluang dan dukungan yang sangat besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan apalagi dalam bidang astronomi. Khalifah al-Mansyur adalah penguasa Abbasiyah pertama yang memberi perhatian serius dalam pengkajian astronomi dan astrologi. Beliau tidak segan untuk mengeluarkan dana besar untuk memulai pengembangan ilmu ini.
Khalifah mengumpulkan dan mendorong cendekiawan muslim untuk menerjemahkan beragam literatur yang berasal dari Yunani, Romawi Kuno, India, hingga Persia. Sang khalifah menunjuk seorang ahli astronomi yang bernama Naubahkh untuk memimpin upaya itu. Khalifah meulis surat pada kaisar Bizantium agar mengirimkan buku-buku ilmiah untuk diterjemahkan, termasuk buku-buku tentang ilmu astronomi. Secara khusus, sang khalifah meminta al Fazari untuk menerjemahkan sebuah buku tentang astronomi dari India yang berjudul Sindhind, tylisan Brahmaghupta. Buku tersebut dibawa oleh seorang pengembara dan ahli astronomi India bernama Mauka ke Baghdad dan segera menarik perhatian kaum cendekia di sana. Al Fazari menunaikan tugas dengan baik.

            Al Fazari, ungkap Ehsan Masood dalam bukunya "Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern", saat itu telah menguasai astronomi sehingga di bawah arahan khalifah langsung beliau mampu menerjemahkan dan menyadur teks astronomi India kuno yang sangat teknis tersebut. Kemudia beliau memberi judul Zij al Sinin al Arab (Tabel Astronomi Berdasarkan Penanggalan Bangsa Arab) pada karya terjemahannya tersebut.

Ilmuwan terkemuka bernama Yaqub ibnu Tariq juga turut membantu dalam proyek pengalihan bahasa tersebut. Menurut Ehsan Masood, penerjemahan Sindhind sangat berharga. Bukan hanya karena wawasan astronominya tapi juga sistem penomoran India yang ada di dalamnya. Hasil kerja Al Farazi melalui penerjemahan mengenalkan sistem penomoran tersebut ke dunia Arab.
Tugas yang diawali Al Farazi pada masa selanjutnya disempurnakan oleh al Khawarizmi. Al Farazi menyusun zij atau tabel indeks kalkulasi posisi benda-benda langit. Perhitungan dilakukan dengan mengkombinasikan penanggalan India, Kalpa Aharganas dengan perhitungan tahun Hijriah Arab. Selain itu, karya al Farazi mencantumkan daftar negara-negara di dunia dan dimensinya berdasarkan perhitungan tabel.

Pada masa Khalifah Harun Al Rasyid, Al Farazi membuat astrolab planisferis pertama yaitu mesin hitung analog pertama, sebagai alat bantu astronomi menghitung waktu terbit dan tenggelam serta titik kulminasi matahari dan bintang serta benda langit lainnya pada waktu tertentu. Astrolab menjadi instrumen paling penting yang pernah dibuat. Dengan desain akurat, astrolab menjadi instrumen penentu posisi pada abad pertengahan. Astrolab merupakan model alam semesta yang bisa digenggam sekaligus jam matahari untuk mengukur tinggi dan jarak bintang. Chaucer dalam Treatise in the Astrolabe menyatakan bahwa Astrolab kemudian menjadi alat navigasi utama. hanya dalam beberapa bulan setelah ditemukan Astrolab oleh Al Farazi, kemajuan astronomi melejit cepat. Astrolab memainkan peranan penting dalam pencapaian bidang astronomi oleh umat Muslim hingga masa-masa berikutnya. Seorang astronom bernama al Sufi berhasil memanfaatkannya dengan baik.


Al Sufi mampu memetakan sekitar seribu kegunaan Astrolab dalam berbagai bidang yang berbeda seperti astronomi, astrologi, navigasi, survei, penentuan arah kiblat, waktu shalat, dan penunjuk waktu. Karya Al Farazi lain berupa syair dengan judul "Qasida fi Ilm al-Nujum" (Puisi tentang Ilmu Pengetahuan dan Perbintangan). Pada abad ke-13, karya ini ditemukan kembali oleh penjelajah dan ahli geografi Muslim bernama Yaqut al-Hamawi dan al-Safadi.
Gairah dan kemauan para sarjana Muslim belajar dari tradisi ilmu lain serta dukungan penuh dari pemerintahan menjadi kunci keberhasilan dalam memajukan ilmu pengetahuan di dunia Islam.

Al-Farghani adalah seorang ahli astronomi muslim yang sangat berpengaruh. Nama lengkapnya adalah Abu al-Abbas bin Muhammad bin Kalir al-Farghani. Di Barat, para ahli astronomi abad pertengahan mengenalnya dengan sebutan al-Farghanus. 

Al-Farghani berasal dari Farghana, Transoxania. Farghana adalah sebuah kota di tepi sungai Sardaria, Uzbekistan. Ia hidup di masa pemerintahan khalifah al-Ma'mun (813-833) hingga masa kematian al-Mutawakkil (847-881). Al-Farghani sangat beruntung hidup di dua masa tersebut karena pemerintah kekhalifahan memberi dukungan penuh bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Buktinya, sang khalifah membangun sebuah lembaga kajian yang disebut Akademi al-Ma'mun, dan mengajak al-Farghani untuk bergabung. Bersama para ahli astronomi lain, ia diberi kesempatan menggunakan peralatan kerja yang sangat canggih pada masa itu. Ia memanfaatkan fasilitas yang ada untuk mengetahui ukuran bumi, meneropong bintang, dan menerbitkan laporan ilmiah. Pada tahun 829, al-Farghani melakukan penelitian di sebuah observatorium yang didirikan oleh khalifah al-Ma'mun di Baghdad. Ia ingin mengetahui diameter bumi, jarak, dan diameter planet lainnya. Pada akhirnya, ia berhasil menyelesaikan penelitian tersebut dengan baik.

Al-Farghani juga termasuk orang yang turut memperindah Darul Hikmah al-Ma'mun dan mengambil bagian dalam proyek pengukuran derajat garis lintang bumi. Al-Farghani juga berhasil menjabarkan jarak dan diameter beberapa planet. Pada masa itu, hal tersebut merupakan pencapaian yang sangat luar biasa.

Hasil penelitian al-Farghani di bidang astronomi ditulisnya dalam berbagai buku. Harakat as-Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum (Asas-Asas Ilmu Bintang) adalah salah satu karya utamanya yang berisi kajian bintang-bintang. Sebelum masa Regiomontanus, Harakat as-Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum adalah salah satu buku yang sangat berpengaruh bagi perkembangan astronomi di Eropa.

Di dalam buku tersebut, al-Farghani memang mengadopsi sejumlah teori Ptolemaeus, tapi ia mengembangkanya lebih lanjut hingga membentuk teorinya sendiri. Tak heran, Harakat a-Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum mendapatkan respon yang positif dari para ilmuwan muslim dan non muslim. Buku ini pun diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Harakat as-Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris mengalami perubahan judul menjadi The Elements of Astronomy. Pada abad XII, buku ini diterjemahkan pula dalam dua versi bahasa Latin. Salah satunya diterjemahkan oleh John Seville pada tahun 1135, sebelum kemudian direvisi oleh Regiomontanus pada tahun 1460-an. Sebelum tahun 1175, karya ini juga sempat diterjemahkan oleh Gerard Ceremona.
                                             Biografi Al-Farghani: Perintis Astronomi Modern
Selanjutnya, Dante melengkapi karya al-Farghani ini dengan menambahkan pendapatnya tentang astronomi dan memasukkan karyanya yang berjudul La Vita Nuova. Seorang ilmuwan Yahudi yang bernama Jacob Anatoli juga menerjemahkan karya ini dalam bahasa Yahudi, dan menjadi terjemahan latin versi ketiga (1590). Pada tahun 1669, Jacob Golius menerbitkan teks Latin yang baru. Bersamaan dengan itu, sejumlah ringkasan karya al-Farghani telah beredar di kalangan para ilmuwan. Di kemudian hari, The Elements of Astronomy diakui sebagai sebuah karya yang sangat berpengaruh bagi para ilmuwan masa itu.

Tidak hanya aktif di bidang astronomi, al-Farghani juga aktif di bidang lain, seperti teknik. Seorang ilmuwan yang bernama Ibnu Tughri Birdi berkata bahwa al-Farghani pernah ikut melakukan pengawasan pada proyek pembangunan Great Nilometer di Kairo Lama (861). Nilometer adalah sebuah alat pengukur pasang-surut air sungai Nil. Alat ini dibangun di pulau Roda, sebuah pulau yang terletak di sebelah selatan Kairo. Nilometer berbentuk tiang yang mampu mencatat ketinggian air. Bangunan tersebut berhasil diselesaikan bersamaan dengan meninggalnya khalifah al-Mutawwakil, sang pencetus pembagunan Nilometer.

Al-Farghani juga pernah ditugaskan melakukan pengawasan pada sebuah proyek penggalian kanal di kota baru, al-Ja'fariyya, yang terletak berdekatan dengan Samaran di daerah Tigris. Proyek tersebut bernama Kanal al-Ja'fari. Saat itu, al-Farghani memerintahkan para pekerja untuk membuat bagian hulu kanal lebih dalam dari pada bagian yang lain. Dengan begitu, tidak akan ada air yang mengaliri kanal tersebut, kecuali jika permukaan air sungai Tigris sedang pasang. Kebijakan al-Farghani ini sempat membuat khalifah marah, namun hitungan al-Farghani kemudian dibenarkan oleh seorang pakar teknik yang berpengaruh, Sind bin Ali. Akhirnya, sang khalifah mau menerima kebijakan tersebut. Dalam bidang teknik, al-Farghani juga membuat karya dalam bentuk buku, yaitu Kitab al-FusulIkhtiyar al-Majisti, dan Kitab 'Amal al-Rukhamat.

Karya utama al-Farghani yang berbahasa Arab masih tersimpan baik di Oxford, Paris, Kairo, dan di perpustakaan Universitas Princeton. Atas karya dan jasanya yang begitu banyak, nama al-Farghani dikenal sebagai salah satu perintis astronomi modern. Al-Farghani adalah tokoh yang memperkenalkan sejumlah istilah astronomi asli Arab pada dunia, seperti azimuthnadir, dan zenith.

Al-Battani lahir pada tahun 858 di Battan, Harran. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad Ibn Jabir Ibnu Sinan al-Battani. Namun, para penulis abad pertengahan lebih sering menyebutnya dengan nama Albetegni atau al-Batenus.

AL-BATTANI


Ketertarikan al-Battani pada benda-benda langit membuatnya menekuni bidang astronomi. Ia mendapat pendidikan tersebut dari sang ayah, Jabir Ibn San’an al-Battani, yang juga seorang ilmuwan. Dengan kecerdasannya, al-Battani mampu menguasai semua pelajaran yang diberikan ayahnya dan menggunakan sejumlah peralatan astronomi dalam waktu yang cukup singkat. Beberapa waktu kemudian, ia meninggalkan Harran menuju kota Raqqa yang terletak di tepi sungai Eufrat. Di kota ini, ia melanjutkan pendidikan dan mulai melakukan bermacam penelitian, yang kemudian menghasilkan sejumlah penemuan penting yang berguna bagi masyarakat dan pemerintah. Pada tanggal 14 September 786, khalifah Harun al-Rasyid, khalifah kelima Dinasti Abbasiyah, membangun sejumlah istana di kota tersebut sebagai bentuk penghargaannya atas penemuan al-Battani. Usai pembangunan tersebut, kota Raqqa berubah menjadi pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan perdagangan yang ramai.

Sebagai seorang ahli astronomi, al-Battani menghasilkan sejumlah penemuan astronomi yang penting bagi dunia. Ia adalah ilmuwan pertama yang mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan bumi mengelilingi matahari, yaitu 365 hari, 5 jam, 46 menit, dan 24 detik. Angka yang ditunjukkan dalam perhitungannya itu mendekati angka yang dihasilkan para ilmuwan modern saat melakukan penelitian yang sama dengan menggunakan alat yang lebih akurat. Ketika alat astronomi canggih belum ditemukan, al-Battani dikenal telah melakukan penelitian terhadap bermacam benda langit.

Selama 42 tahun, al-Battani terus melakukan penelitian semacam itu dan menghasilkan sejumlah penelitian yang mengagumkan. Ia menemukan garis bujur terjauh matahari mengalami pengingkatan 16,470 sejak perhitungan yang dilakukan Ptolomeus beberapa abad sebelumnya. Hal ini kemudian menghasilkan satu penemuan penting tentang gerak lengkung matahari. Al-Battani juga bisa menentukan kemiringan ekliptik, panjang musim, dan orbit matahari secara akurat. Ia bahkan berhasil menemukan orbit bulan dan planet, dan menetapkan Teori Kemunculan Bulan Baru. Pada tahun 1749, penemuan al-Battani mengenai garis lengkung bulan dan matahari digunakan Dunthorne untuk menentukan gerak akselerasi bulan.
                                      Biografi Al-Battani: Peneliti Planet-Planet
Pada masanya, al-Battani adalah satu-satunya ahli astronomi yang mampu menggambarkan ukuran bulan dan matahari secara akurat. Al-Battani dianggap sebagai guru, terutama bagi orang-orang Eropa, karena ia banyak mengenalkan terminologi astronomi yang berasal dari bahasa Arab, seperti azimuthzenith, dan nadir. Ia adalah penerus al-Farghani.

Karya al-Battani yang sangat berpengaruh adalah Kitab Ma’rifat Matali al-Buruj fi ma Bayna Arba al-Falak, sebuah buku ilmu pengetahuan tentang zodiak dan pemecahan soal-soal astrologi. Selain itu, dikenal pulaRisalah fi Tahkik Akdar al-Ittisalat, yaitu sebuah uraian mengenai sejumlah penemuan dan penerapan astrologi. Karya al-Battani lainnya adalah az-Zaujush li Battani (Almanak Versi al-Battani). Buku ini memuat enam puluh tema, seperti pembagian planet, lingkaran kecil yang mengitari lingkaran besar, garis orbit, dan sirkulasi peredaran planet. Di kemudian hari, buku ini disunting oleh Carlo Nallino dan disimpan di Perpustakaan Oskorial, Spanyol. Salah satu buku astronomi karya al-Battani yang juga terkenal adalah Kitab al-Zij. Pada abad XII, buku ini diterjemahkan dalam bahasa Latin dengan judul De Scienta Stellerum u De Numeris Stellerum et Motibusoleh Plato dari Tivoli. Terjemahan tertua dari karya tersebut masih tersimpan di Vatikan.

Dalam bidang matematika, nama al-Battani juga cukup dikenal masyarakat dunia. Salah satu kontribusinya di bidang ini adalah upayanya melakukan perbaikan terhadap kaidah-kaidah dasar hukum astronomi yang didasarkan pada penemuan Ptolomeus yang tertulis dalam Almagest.

Al-Battani meninggal dunia pada tahun 927 di Irak.

AS-SUFI


Nama lengkap as-Sufi adalah Abdul Rahman bin Umar as-Sufi Abul Husayn. Ia lahir pada tahun 903 (291 H) di Rayy, Persia. Abdul Rahman as-Sufi dikenal sebagai salah satu ahli astronomi yang bekerja pada kerajaan, yang saat itu dipimpin oleh Adud al-Dawla. Karena prestasinya yang hebat dan pengetahuannya yang luas, ia diangkat menjadi salah satu cendekiawan kebanggaan sang raja.

Karya as-Sufi yang paling terkenal adalah Kitab al-Kawakib ats-Tsabit al-Musawwar, sebuah katalog bintang yang dibuat berdasarkan pengamatannya sendiri. Katalog ini merupakan atlas bintang pertama yang membahas tentang nebula pada rasi Andromeda, sekaligus atlas bintang paling penting karena mengungkap sejumlah perubahan yang dialami beberapa bintang utama dalam waktu sepuluh abad. As-Sufi mendedikasikan buku yang ditulisnya sekitar tahun 965 (355 H) ini kepada Buyld Emir Adud al-Dawla.

Kitab al-Kawakib ats-Tsabit al-Musawwar adalah salah satu manuskrip berilustrasi paling tua yang mengupas beberapa temua Ptolomeus. Ilustrasinya dibuat begitu menarik untuk menggambarkan konstelasi atau tatanan bintang yang terlebih dahulu telah disusun oleh Utarid bin Muhammad. Namun, ada pula sumber lain yang menyebutkan bahwaKitab al-Kawakib ats-Tsabit al-Musawwar adalah buku terjemahan dari sejumlah naskah ilmiah Yunani, sepertiAlmagest karya Ptolomeus. Jika keduanya dibandingkan, karya astronomi Yunani yang penuh simbol-simbol astronomi memang hampir mirip dengan tatanan bintang dalam buku karya as-Sufi tersebut. Namun jika diperhatikan lebih seksama, terlihat bahwa ilustrasi tatanan bintang tersebut berwujud figur tokoh terkemuka yang dibentuk dari rangkaian sejumlah titik merah. Kini, manuskrip awal karya as-Sufi tersebut masih tersimpan di Perpustakaan Bodleian, setelah sebelumnya disalin, diilustrasi kembali, dan dikaligrafi oleh salah satu putra as-Sufi (1009 - 1010).
Biografi Abdul Rahman As-Sufi: Ilmuwan Muslim Penulis Buku Astronomi
Selain karya di atas, masih banyak karya as-Sufi yang diilustrasi kembali dengan gaya dan judul yang berbeda sesuai perkembangan zaman. Sebuah teks dan terjemahan kata pengantarnya pernah diterbitkan oleh Caussin de Parceval dengan judul Notices at Extraits, sedangkan oleh H.C.F.C. Schjellerup dengan judul Description des Etoiles Fixes par Abd al-Rahman as-Sufi (St. Petersburg, 1874). Pada tahun 1953, naskah yang sama diterbitkan dalam bahasa Arab, setelah manuskripnya yang berada di Paris disunting terlebih dahulu oleh M. Nazamuddin.

As-Sufi juga pernah menulis sebuah buku pegangan tentang astronomi dan astrologi, serta sebuah risalah tentang astrolobe. Selain menulis, as-Sufi juga pernah membuat sebuah peta bumi dari bahan perak. Ia mempersembahkan peta ini untuk Raja Adud al-Dawla. Kini, peta tersebut tersimpan di Perpustakaan Istana Dinasti Fatima di Kairo.

Abdul Rahman as-Sufi meninggal dunia pada tahun 986 (376 H).

IBNU YUNUS


Sebagai bentuk pengakuan dunia astronomi terhadap kiprahnya, namanya diabadikan pada sebuah KAWAH di PERMUKAAN BULAN. Salah satu kawah di permukaan bulan ada yang dinamakan Ibn Yunus. Ia menghabiskan masa hidupnya selama 30 tahun dari 977-1003M untuk memperhatikan benda-benda di angkasa. Dengan menggunakan astrolabe yang besar, hingga berdiameter 1,4meter, Ibnu Yunus telah membuat lebih dari 10 ribu catatan mengenai kedudukan matahari sepanjang tahun.


Karya Ibnu Yunus 'paling terkenal dalam astronomi Islam adalah al-Zij al-Kabir al-Hakimi (1000 M), adalah buku panduan dari tabel astronomi yang berisi pengamatan yang sangat akurat, banyak yang mungkin telah diperoleh dengan instrumen astronomi yang sangat besar. Menurut NM Swerdlow, Zij al-Kabir al-Hakimi adalah "sebuah karya orisinalitas luar biasa. Sayang hanya lebih dari setengahnya yang selamat (diketahui)".

Yunus mengungkapkan solusi dalam zij tanpa simbol matematika, namun Delambre mencatat di tahun 1819 terjemahannya dari tabel Hakemite bahwa dua metode Ibnu Yunus 'untuk menentukan waktu dari ketinggian matahari atau bintang, setara dengan identitas trigonometri 2cos (a ).cos (b) = cos (a + b) + cos (ab) diidentifikasi dalam naskah abad ke-16 Johannes Werner pada bab kerucut. Sekarang diakui sebagai salah satu formula Werner, formula ini penting untuk pengembangan prosthaphaeresis dan logaritma beberapa puluh tahun kemudian. Ibnu Yunus juga menjelaskan 40 konjungsi planet dan 30.

IBNU AL-SYATIR


Ide Ibn Al-Syatir tentang PLANET BUMI MENGELILINGI MATAHARI telah Menginspirasi Copernicus. Akibatnya, COPERNICUS dimusuhi gereja dan dianggap pengikut setan. Demikian juga GALILEO, yang merupakan pengikut Copernicus, secara resmi dikucilkan oleh Gereja Katolik dan dipaksa untuk bertobat, namun dia menolak.

Ibnu Al-Shatir merombak habis Teori Geosentris yang dicetuskan Claudius Ptolemaeus atau Ptolemy (90 SM– 168 SM). Secara matematis, al-Shatir memperkenalkan adanya epicycle yang rumit (sistem lingkaran dalam lingkaran). Al-Shatir mencoba menjelaskan bagaimana gerak merkurius jika bumi menjadi pusat alam semestanya dan merkurius bergerak mengitari bumi.

Model bentuk Merkurius Ibnu al-Shatir menunjukkan penggandaan dari epicycle menggunakan Tusi-couple, sehingga menghilangkan eksentrik dan equant teori Ptolemaic. Menurut George Saliba dalam karyanya A History of Arabic Astronomy: Planetary Theories During the Golden Age of Islam, Kitab Nihayat al-Sul fi Tashih al-Usul, merupakan risalah astronomi Ibnu Al-Shatir yang paling penting. 

"Dalam kitab itu, secara drastis ia mereformasi model matahari, bulan, dan planet Ptolemic. Dengan memperkenalkan sendiri model non-Ptolemic yang menghapuskan epicycle pada model matahari, yang menghapuskan eksentrik dan equant. Dengan memperkenalkan epicycle ekstra pada model planet melalui model Tusi-couple, dan yang menghilangkan semua eksentrik/eccentric, epicycle dan equant di model bulan," jelas Saliba.

Model Ibn al-Shatir untuk penampilan Merkurius, menunjukkan perbanyakan epicycles menggunakan Tusi-couple, menghilangkan eksentrik dan equant teori Ptolemaic.

Sebelumnya, aliran Maragha hanya berpatokan pada model yang sama dengan model Ptolemaic. Model geometris Ibnu al-Shatir merupakan karya pertama yang benar-benar unggul daripada model Ptolemaic karena modelnya ini lebih baik sesuai dengan pengamatan empiris. 

Ibnu al-Shatir juga berhasil melakukan pemisahan filsafat alam dari astronomi dan menolak model empiris Ptolemic dibanding filsafat dasar. Tidak seperti astronomer sebelumnya, Ibnu al-Shatir tidak peduli dengan mempertahankan teori prinsip kosmologi atau filsafat alam (atau fisika Aristoteles), melainkan untuk memproduksi sebuah model yang lebih konsisten dengan pengamatan empiris. 

Modelnya menjadi lebih baik sesuai dengan pengamatan empiris daripada model-model sebelumnya yang diproduksi sebelum dia. Saliba menambahkan karyanya tersebut menjadi karya penting dalam astronomi, yang dapat dianggap sebagai sebuah "Revolusi ilmiah sebelum Renaissance".

Dalam membuat model barunya tersebut, Ibnu al-Shatir melakukan pengujian dengan melakukan pengamatan empiris. Tidak seperti astronomer sebelumnya, Ibnu al-Shatir umumnya tidak keberatan terhadap falsafah astronomi Ptolemaic, tetapi ia ingin menguji seberapa jauh teori Ptolemy cocok dengan pengamatan empirisnya. 

Dia menguji model Ptolemaic, dan jika ada yang tidak cocok dengan pengamatannya, maka ia akan merumuskan sendiri model non-Ptolemaic pada bagian yang tidak cocok dengan pengamatannya. Pengamatannya yang akurat membuatnya yakin untuk menghapus epicycle dalam model matahari Ptolemaic. 

Ibnu al-Shatir juga merupakan astromer pertama yang memperkenalkan percobaan dalam teori planet untuk menguji model dasar empiris Ptolemaic. Saat menguji model matahari Ptolemaic, Ibnu al-Shatir memaparkan ''pengujian nilai Ptolemaic untuk bentuk dan ukuran matahari dengan menggunakan pengamatan gerhana bulan." 

"Karyanya tentang percobaan dan pengamatannya memang telah musnah, namun buku The Final Quest Concerning the Rectification of Principles adalah milik al-Shatir,'' papar Saliba.

Pengaruh Karya Ibnu Al-Shatir"Meskipun sistemnya merupakan geosentri yang kuat, dia telah menghapuskan equant dan accentric Ptolemaic dan rincian sistem matematikanya hampir serupa dengan karya Copernicus' De revolutionibus," jelas V Roberts and E. S. Kennedy dalam karyanya "The Planetary Theory of Ibn al-Shatir".

Menurut Saliba, model bulan Copernicus juga tidak berbeda dengan model Ibnu al-Shatir. Dengan demikian dapat percaya bahwa model Ibnu al-Shatir telah diadaptasi oleh Copernicus dalam model heliocentric. 

"Walaupun masih belum jelas bagaimana ini dapat terjadi, diketahui bahwa manuskrip Byzantine Yunani yang berisi Tusi-couple tempat Ibnu al-Shatir bekerja telah mencapai Italia pada abad ke-15 M," jtutur AI Sabra dalam karyanya "Configuring the Universe: Aporetic, Problem Solving, and Kinematic Modeling as Themes of Arabic Astronomy". 

Saliba menambahkan, diagram model heliocentric yang dikembangkan Copernicus, termasuk tanda-tanda dari poin, hampir sama dengan diagram dan tanda-tanda yang digunakan Ibnu al-Shatir pada model geosentrisnya. "Sehingga sangat mungkin bahwa Copernicus terpengaruh karya Ibnu al-Shatir," ujarnya.

YM Faruqi dalam karyanya " Contributions of Islamic scholars to the scientific enterprise", mengungkapkan, "Teori pergerakan bulan Ibnu al-Shatir sangat mirip dengan yang dicetuskan Copernicus sekitar 150 tahun kemudian". Begitulah Ilmuwan Muslim al-Shatir mampu memberi pengaruh bagi dunia Barat.

Kontribusi Al-Shatir dalam Bidang Teknik

Jam Astrolab

David A King dalam bukunya bertajuk The Astronomy of the Mamluks menjelaskan bahwa Ibnu al-Shatir menemukan jam astrolabe pertama di awal abad ke-14 M. 

Astrolab adalah instrumen astronomi zaman dahulu yang digunakan oleh astronom, navigator, dan astrolog pada era klasik. Astrolab banyak digunakan untuk menentukan lokasi dan memprediksi posisi matahari, bulan, planet, dan bintang; menentukan waktu lokal dengan diketahui letak bujur dan letak lintang; survei; serta triangulasi. Pada era Islam abad pertengahan, astrolab terutama digunakan untuk mempelajari astronomi, navigasi, survei, penentu waktu, salat, serta menentukan arah kiblat. 

Sebuah Risalah menjelaskan pentingnya Astrolabe oleh Nasir al-Din al-Tusi

Jam Matahari

Menurut catatan sejarah, sundial atau jam matahari merupakan jam tertua dalam peradaban manusia. Jam ini telah dikenal sejak tahun 3500 SM. Pembuatan jam matahari di dunia Islam dilakukan oleh Ibnu al-Shatir, seorang ahli Astronomi Muslim ( 1304-1375 M). "Ibnu al-Shatir merakit jam matahari yang bagus sekali untuk menara Masjid Umayyah di Damaskus," ujar David A King dalam karyanya bertajuk The Astronomy of the Mamluks. 

Berkat penemuannya itu, ia kemudian dikenal sebagai muwaqqit (pengatur waktu ibadah) pada Masjid Umayyah di Damaskus, Suriah. Jam yang dibuat Ibnu al-Shatir itu masih tergolong jam matahari kuno yang didasarkan pada garis jam lurus. Ibnu al-Shatir membagi waktu dalam sehari dengan 12 jam, pada musim dingin waktu pendek, sedangkan pada musim panas waktu lebih panjang. Jam mataharinya itu merupakan polar-axis sundial paling tua yang masih tetap eksis hingga kini. 

"Jam mataharinya merupakan jam tertua polar-axis sundial yang masih ada. Konsep kemudian muncul di Barat jam matahari pada 1446," ungkap Jones, Lawrence dalam karyanya "The Sundial And Geometry". 

Kompas 

David A.King mengatakan Ibnu al-Shatir juga menemukan kompas, sebuah perangkat pengatur waktu yang menggabungkan jam matahari dan kompas magnetis pada awal abad ke-14 M.
























BAB III

PENUTUP



KESIMPULAN


Dari pembahasan yang telah dilakukan diatas, kamipun menarik kesimpulan bahwasannya Islam, merupakan agama yang paling sempurna. Segala yang ada di alam semesta ini telah ditetapkan oleh Allah SWT. Jika kita mengkaji ulang, segala sesuatu yang ada di dunia ini, pada awalnya bersumber dan bermuara dari Islam. Seperti halnya Ilmu Astronomi. Semua yang berkenaan dengan ilmu astronomi telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Lalu, bagaimana dengan sekarang. Mengapa perkembangan ilmu astronomi cenderung berasal dari Dunia barat? . Karena, generasi-generasi Islam sekrang sudah tidak seperti dulu. Sebenarnya, pada kenyataannya bangsa Barat memanfaatkan Al-Qur’an untuk memperdalam Ilmu pengetahuan tentunya tidak dengan keimanan dan ketaqwaan. Oleh karenanya, kita sebagai generasi muda Islam hendaknya berusaha untuk memajukan Islam.


Demikianlah makalah yang dapat kami buat.  Tentunya, makalah kami ini memiliki banyak sekali kekurangan. Atas segala kekurangan tersebut, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga apa yang dapat kami tuliskan ini bermanfaat bagi pembaca, dan meningkatkan motivasi serta wawasan pembaca. Sekian penutup dari kami semoga berkenan di hati dan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

















ManisPahit Kehidupannya

Powered by Blogger.

Labels


Search This Blog

Followers

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Rasa Asa | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com