NAMA KELOMPOK
1. RAFIKA HAYATI
NASUTION
2. MUTIA SALWA
3. LISA AMALIA
4. ANITA
VIII-A
MTsN. LUBUK
PAKAM 2012/2013
Assalamu’alaikum
warrahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillah segala puji syukur selalu kami
haturkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, taufik,
hidayah, serta inayah-Nya kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan tugas
penyusunan Makalah Sejarah Kebudayaan Islam dengan judul Perkembangan ilmu
astronomi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Kami selaku penyusun makalah
menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bpk………………………. selaku guru mata
pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam yang telah memberikan arahan dan bimbingan
dalam pembuatan makalah ini, orang tua yang selalu mendukung kelancaran tugas
kami, serta pada tim anggota kelompok yang selalu kompak dan konsisten dalam
penyelesaian tugas ini
Makalah Perkembangan ilmu astronomi pada masa
pemerintahan Dinasti Abbasiyah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
kelompok mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam yang dibimbing oleh Bpk………………………….
Dalam penyusunan makalah ini, kami
menyadari masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami tidak menutup diri
dari para pembaca akan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan
dan peningkatan kualitas penyusunan makalah dimasa yang akan datang.
Dan kami berharap, semoga makalah
ini bisa memberikan suatu kemanfaatan bagi kami penyusun dan para pembaca
semuanya. Amin.
Lubuk Pakam, 26 Nivember 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
A. LATAR BELAKANG
Sebagai salah satu ilmu pengetahuan tertua dalam peradaban manusia,
Astronomi kerap dijuluki sebagai 'ratu sains'. Astronomi memang menempati
posisi yang terbilang istimewa dalam kehidupan manusia. Sejak dulu, manusia
begitu terkagum-kagum ketika memandang kerlip bintang dan pesona benda-benda
langit yang begitu luar biasa. Fenomena langit sangatlah menarik rasa ingin
tahu manusia. Sebuah bukti adalah adanya sejarah para ilmuan yang mencoba untuk
mengamati dan mempelajari fenomena alam tersebut.
Awalnya, manusia menganggap
fenomena langit sebagai sesuatu yang magis. Seiring berputarnya waktu dan
zaman, manusia pun memanfaatkan keteraturan benda-benda yang mereka amati di
angkasa untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti penanggalan. Dengan mengamati
langit, manusia pun bisa menentukan waktu utuk pesta, upacara keagamaan, waktu
untuk mulai menabur benih dan panen.
Seiring perkembangan zaman dan peradaban, ilmu perbintangan ini
mulai dikembangkan di berbagai daerah. Astronomi sistematis dengan perhitungan
matematis mulai digunakan pertama kali oleh orang-orang dari Babilonia. Sejak
itu, perkembangan astronomi semakin pesat dan luas.
Setelah Islamisasi dilakukan hampir di seluruh jazirah Arab, ada beberapa bukti
bahwa orang-orang Islam sudah mulai mempelajari ilmu perbintangan yang diadopsi
dari India dan Yunani kuno. Dan seiring dengan perkembangang ilmu pengetahuan
pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, Ilmu Astronomi merupakan salah satu
ilmu yang berkembang pesat pada saat itu. Oleh karenanya, kami mencoba untuk
mengkaji perkembangan ilmu Astronomi pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah.
-
Bagaimana perkembangan Ilmu Astronomi Islam pada masa pemerintahan Dinasti
Abbasiyah?
-
Siapa sajakah tokoh-tokoh Ilmuwan Muslim yang mengembangkan Ilmu Astronomi pada
saat itu?
-
Mengetahui apa itu Astronomi.
- Mengetahui perkembangan Ilmu Astronomi pada masa pemerintahan Dinasti
Abbasiyah
- Mengetahui Pengaruh Islam dalam perkembangan ilmu Astronomi dan pengaruh Ilmu
Astronomi dalam Islam.
Kata
astronomi awalnya berasal dari bahwa Yunani kuno yaitu astron yang berarti bintang dan nomos yang
berarti hukum atau budaya. Maka apabila digabungkan astron-nomos adalah hukum atau budaya
bintang-bintang.Ilmu
Astronomi terkenal pula dengan ilmu Falak, yaitu ilmu yang mempelajari
benda-benda langit, seperti matahari, bulan, dan planet-planet. Pengetahuan
tentang posisi benda-benda langit tersebut merupakan hasil pengamatan yang
dilakukan dengan alat-alat tertentu yang dilakukan secara berulang-ulang.
Astronomi sebagai ilmu adalah salah satu yang tertua,
sebagaimana diketahui dari artifak-artifak astronomis yang berasal dari era
prasejarah; misalnya monumen-monumen dari Mesir dan Nubia,
atau Stonehenge yang
berasal dari Britania. Orang-orang dari peradaban-peradaban
awal semacam Babilonia, Yunani, Cina, India,
dan Maya juga
didapati telah melakukan pengamatan yang metodologis atas langit malam. Akan tetapi meskipun memiliki
sejarah yang panjang, astronomi baru dapat berkembang menjadi cabang ilmu
pengetahuan modern melalui penemuan teleskop.
Cukup banyak cabang-cabang ilmu yang pernah turut disertakan sebagai
bagian dari astronomi, dan apabila diperhatikan, sifat cabang-cabang ini sangat
beragam: dari astrometri, pelayaran berbasis angkasa, astronomi
observasional, sampai dengan penyusunan kalender dan astrologi. Meski demikian, dewasa ini astronomi
profesional dianggap identik dengan astrofisika.
Pada abad ke-20, astronomi profesional terbagi menjadi dua cabang: astronomi observasional dan astronomi
teoretis. Yang pertama melibatkan pengumpulan data dari pengamatan
atas benda-benda langit, yang kemudian akan dianalisis menggunakan
prinsip-prinsip dasar fisika. Yang kedua terpusat pada upaya pengembangan
model-model komputer/analitis guna menjelaskan sifat-sifat benda-benda langit
serta fenomena-fenomena alam lainnya. Adapun kedua cabang ini bersifat
komplementer — astronomi teoretis berusaha untuk menerangkan hasil-hasil
pengamatan astronomi observasional, dan astronomi observasional kemudian akan
mencoba untuk membuktikan kesimpulan yang dibuat oleh astronomi teoretis.
Astronom-astronom
amatir telah dan terus
berperan penting dalam banyak penemuan-penemuan astronomis, menjadikan
astronomi salah satu dari hanya sedikit ilmu pengetahuan di mana tenaga amatir
masih memegang peran aktif, terutama pada penemuan dan pengamatan
fenomena-fenomena sementara.
Astronomi harus dibedakan dari astrologi, yang merupakan
kepercayaan bahwa nasib dan urusan manusia berhubungan dengan letak benda-benda
langit seperti bintang atau rasinya. Memang betul bahwa dua bidang ini memiliki
asal-usul yang sama, namun pada saat ini keduanya sangat berbeda.[1]
Pada awalnya, astronomi hanya melibatkan pengamatan beserta
prediksi atas gerak-gerik benda-benda langit yang terlihat dengan mata
telanjang. Pada beberapa situs seperti Stonehenge, peradaban-peradaban awal juga
menyusun artifak-artifak yang diduga memiliki kegunaan astronomis.Observatorium-observatorium purba ini jamaknya bertujuan
seremonial, namun dapat juga dimanfaatkan untuk menentukan musim, cuaca, dan
iklim — sesuatu yang wajib diketahui apabila ingin bercocok tanam — atau
memahami panjang tahun.
Sebelum ditemukannya peralatan seperti teleskop, penelitian
harus dilakukan dari atas bangunan-bangunan atau dataran yang tinggi, semua
dengan mata telanjang. Seiring dengan berkembangnya peradaban, terutama di
Mesopotamia, Cina, Mesir, Yunani, India, dan Amerika Tengah, orang-orang mulai
membangun observatorium dan gagasan-gagasan mengenai sifat-sifat semesta mulai
ramai diperiksa. Umumnya, astronomi awal disibukkan dengan pemetaan letak-letak
bintang dan planet (sekarang disebut astrometri), kegiatan yang akhirnya melahirkan
teori-teori tentang pergerakan benda-benda langit dan pemikiran-pemikiran
filosofis untuk menjelaskan asal-usul Matahari, Bulan,
dan Bumi. Bumi kemudian dianggap sebagai pusat jagat raya, sedang Matahari,
Bulan, dan bintang-bintang berputar mengelilinginya; model semacam ini dikenal
sebagai model geosentris, atau sistem
Ptolemaik (dari nama
astronom Romawi-Mesir Ptolemeus).
Salah satu
ilmu yang berkembang cepat di dunia Islam adalah astronomi. Dalam ilmu
perbintangan, banyak ilmuwan muslim mempelajari metode Batlamyus dan
karya-karya astronom asal Iran dan India. Setelah itu, mereka mampu melakukan
berbagai inovasi di dunia astronomi seperti jam matahari, astrolabe, alat
peneropong dan alat penentu waktu.
Astrolabe
yang dibuat para ilmuwan muslim mempunyai ketelitian yang tidak kalah dengan
ketelitian komputer saat ini. Dalam sejarah juga disebutkan bahwa para ilmuwan
muslim di bidang penentuan waktu tercatat sebagai penggagas ilmu ini, bahkan
Barat sendiri berkiblat kepada mereka.
Salah satu
karya penting para ilmuwan muslim adalah upaya mereka dalam menentukan ciri-ciri
bumi. Menurut sejarah, Makmoun, khalifah Dinasti Abbasiah saat itu,
memerintahkan para astronom supaya menghitung luas planet bumi. Para ilmuwan di
masa itu menelaah karya-karya Yunani dan kemudian berhasil menemukan metode
baru yang luar biasa. Setelah itu, Abu Raihan Biruni menemukan inovasi baru
dengan astrolobe untuk mengetahui wilayah planet bumi. Dalam karya yang
terkenal dengan ilmu "jelajah bumi", Biruni menjelaskan inovasinya.
Di bidang ilmu
perbintangan, kerja keras para ilmuwan muslim bermula dari penerjemahan
karya-karya Batlamyus. Setelah itu, banyak karya-karya yang menjelaskan catatan
Batlamyus. Terkait hal ini, ilmuwan muslim seringkali mengkritik
pandangan-pandangan Batlamyus dan menentang penjelasan ilmuwan asal Yunani ini.
Saat ini, pandangan para ilmuwan muslim di bidang ilmu perbintangan
terkenal dengan istilah terori pra-copernicus.
Ada tiga
karya terjemah dan penjelasan terkait perbintangan Batlamyus yang hingga
sekarang masih ada. Tak dapat dipungkiri, karya-karya Batlamyus mendorong
para ilmuwan muslim menelaah ilmu perbintangan dan menghitung orbit
planet-planet yang bernama zij. Dalam dunia Islam, jumlah zij mencapai 220.
Para
astronom dalam berbagai risetnya berupaya mengungkap populasi bintang.
Hasilnya, para ilmuwan berhasil mendapatkan data yang lengkap. Peradaban Islam
telah turut memberi nama ratusan hingga ribuan bintang dalam populasi galaksi.
Dari sederet nama bintang yang ditemukan dan dinamai ilmuwan Muslim itu, hingga
kini masih ada yang dipakai, bahkan ada pula yang sudah lenyap dan tak
digunakan lagi oleh peradaban modern. Di antara masalah penting di dunia
astronomi adalah menentukan masa tahun matahari. Riset panjang umat para
ilmuwan muslim untuk mengetahui masa tahun matahari menghasilkan kalender di dunia
Islam.
Terkait
kalender tahun matahari tidak terlepas dari peran ilmuwan Muhammad Ibnu Jabir
al-Harrani al-Batani dan Abu Jafar Muhammad ibn Hasan Khazini. Jasa al-Batani
terhadap kalender Islam sangatlah besar. Di sini, al-Batani mengusulkan teori
baru dalam menentukan kondisi terlihatnya bulan baru, yang kita sebut sebagai
hilal. Tak hanya itu, al-Batani juga berhasil mengubah sistem perhitungan
sebelumnya yang membagi satu hari ke dalam 60 bagian (jam) menjadi 12 bagian
(12 jam), dan setelah ditambah 12 jam waktu malam sehingga berjumlah 24 jam.
Sudut
kemiringan bumi terhadap matahari saat berotasi juga ditemukan oleh al-Batani,
yaitu sebesar 23035. Bahkan lamanya bumi berevolusi terhadap matahari, secara
akurat mampu dihitung al-Batani sebanyak 365 hari, 5 jam, 46 menit, dan 24
detik.
Al – Qur`an juga menjelaskan beberapa teori yang berkaitan
dengan Asronomi. Mulanya di langit ada sekelompok bintang yang nampak seperti
kabut yang dinamakan nebula, lalu ada pemisahan kedua yang
membentuk galaksi, lebih jauh; terjadi pemisahan menjadi tata surya yang
melahirkan matahari, sejumlah planet, bulan dan bumi. Allah telah menjelaskan
hal ini dalam Surah Anbiya.
Dan apakah orang-orang yang kafir
tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu
yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan
segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga
beriman?.” ( QS. Al Anbiyaa’
[21]:30 ).
Ayat ini bicara tentang big bang theory, bayangkan, apa
yang kita temukan masa kini, Al-Qur’an telah menyebutkannya lebih dari 1400
tahun yang lalu. Allah juga mengatakan dalam surah Fushshilat
:
Kemudian Dia menuju kepada penciptaan
langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan
kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau
terpaksa.” Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati. ( QS. Fushshilat
[41] : 11 ).
Dalam bahasa arab kata dukhan artinya asap. Jika anda bertanya kepada
ilmuan bagaimana awal alam semesta, mereka akan mengatakan bahwa alam semesta
pada mulanya bukan berbentuk padat tapi gas yang tampak seperti asap.
Dulu, orang menganggap
bahwa bumi ini datar,
sehingga mereka takut pergi terlalu jauh karena nanti bisa terjatuh,baru pada
tahun 1597 ketika Francis Drake; berlayar
mengelilingi bumi kemudian membuktikan bahwa bumi ini berbentuk bulat. Bukankah Allah telah
menyebutkannya dalam Al-Qur’an surah Luqman.
Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa
sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke
dalam malam dan Dia tundukkan matahari dan bulan masing-masing berjalan sampai
kepada waktu yang ditentukan, dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan. ( QS. Luqman [31]
: 29 ).
Penyatuan adalah proses yang lambat dan bertahap.
Malam secara perlahan dan bertahap berubah menjadi siang dan siang secara
perlahan dan bertahap berubah menjadi malam, gejala ini hanya mungkin terjadi
jika bumi berbentuk bulat, tidak mungkin bumi berbentuk datar, jika bumi
berbentuk datar maka akan ada perubahan yang mendadak. Hal ini diperkuat oleh
Allah pada firman-Nya dalam surah Az-zumar .
Dia menciptakan langit dan bumi
dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan
siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing
berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah Dialah
Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. ( QS. Az Zumar
[39] : 5 )
Kata Kawwara dalam bahasa Arab berarti melewati / menggulung. Gejala ini
hanya akan terjadi jika bumi berbentuk bulat dan tidak mungkin terjadi jika
bumi berbentuk datar. Firman Allah dalam surah An-Naazi’aat .
Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. ( QS. An Naazi´aat
[79] : 30 ).
Kata dasar dari Dahahaa berarti keteluran, bukan sembarang telur
tetapi khusus mengacu pada telur burung unta.
Sedikit menyempit dari puncaknya dan menonjol dari pusat. Jadi Al-Qur’an telah
menunjukkan bentuk tepat geospherical dari bumi lebih 14 abad yang
lalu.
Sebelumnya kita
berpikir bahwa cahaya bulan adalah cahayanya sendiri, barulah akhir-akhir ini
kita tahu bahwa cahaya bulan adalah cahaya matahari yang dipantulkan. Bukankah
Allah telah mengatakannya dalam surah Al-Furqan ayat 61, dalam surah
Yunus ayat 5. Pesan yang sama juga diulang pada surah Nuh.
Dan
Allah menciptakan padanya bulan
sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita? ( QS. Nuh [71] : 16 ).
Sebelumnya ilmuan Eropa
mengatakan bahwa bumi berdiri sendiri sebagai pusat planet dan benda-benda
langit lainnya termasuk matahari mengelilingi bumi. Ini dikenal sebagai teori
geocentrism. Teori ini dipercaya para ahli pada abad ke-2 SM dan bertahan
selama 16 abad lamanya, sampai Copernicus mengatakan bahwa bumi dan planet
lainnya berputar mengelilingi matahari.
Tahun 1609, Yohannes
Kippler menulis dalam bukunya Astronomi dan Norwegia, bahwa bukan hanya bumi
dan planet yang berputar mengelilingi matahari, mereka juga berputar diporosnya
sendiri.
Disekolah kita bahkan diajarkan bahwa
bumi dan planet berputar pada porosnya sendiri dan berputar mengelilingi
matahari, sedangkan matahari tetap dan tidak berputar pada porosnya, tapi
Allah berfirman pada surah Al-Anbiyaa’.
Dan Dialah
yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari
keduanya itu beredar di dalam garis edarnya. ( QS. Al Anbiyaa’ [21] : 33 )
Kata dasar dari Yasbahuna berarti gerakan dari badan yang bergerak.Hal ini juga menunjukkan bahwa
Matahari juga berputar pada porosnya.
Itulah kajian ilmu astronomi menurut Islam. Al- Qur’an.
Pada masa pemerintahan Dinasti
Abbasiyah, bangsa Arab menjadi penghubung kebudayaan Yunani dan Eropa. Bangsa
Arab memiliki sifat, kepribadian, serta keimanan yang murni. Mereka percaya
bahwa manusia diciptakan semata-mata oleh Allah SWT. Oleh karena itu, segala
ilmu yang mereka peroleh dari bangsa Yunani
dianggap sebagai amanat yang harus dipelihara dan disampaikan kepada
umat manusia. Kemudian, bangsa Arab menyusun komentar sebaik-baiknya tanpa memutarbalikkan
kenyataan yang mereka peroleh dan menyampaikan hal itu kepada umat manusia.
Ilmuwan-ilmuwan
Islam, juga telah banyak menyumbangkan karya-karyanya kepada dunia Astronomi,
diantaranya adalah sebagai berikut :
Abu Abdallah Muhammad ibn
Ibrahim al-Farazi (796-806) adalah seorang filsuf muslim, matematikawan, dan
astronom.Beliau lahir di tengah keluarga ilmuwan. Ayah beliau, Ibrahim al
Fazari, juga seorang astronomer dan matematikawan. Beberapa sumber mengatakan
bahwa dilihat dari nama, beliau berasal dari Arab tapi mempelajari ilmu di
Persia dan sumber yang lain mengatakan bahwa beliau adalah seorang Persia. Al
Farazi menetap serta berkarya di Baghdad, Irak, ibu kota kekhalifahan Abbasiyah.
Al
Farazi adalah salah satu astronom paling awal di dunia Islam. Beliau memegang
peran penting dalam kemajuan ilmu astronomi di masa Abbasiyah. Al Fazari
menerjemahkan beberapa literatur asing ke dalam bahasa Arab dan Persia. Bersama
dengan beberapa cendekiawan lain, seperti Naubakht, Masha'Alhah, dan Umar ibnu
al-Farrukhan al-Tabari, beliau meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan di dunia
Islam. Dinasti Abbasiyah yang berkuasa saat itu memberikan peluang dan dukungan
yang sangat besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan apalagi dalam bidang
astronomi. Khalifah al-Mansyur adalah penguasa Abbasiyah pertama yang memberi
perhatian serius dalam pengkajian astronomi dan astrologi. Beliau tidak segan
untuk mengeluarkan dana besar untuk memulai pengembangan ilmu ini.
Khalifah mengumpulkan dan mendorong cendekiawan muslim untuk menerjemahkan
beragam literatur yang berasal dari Yunani, Romawi Kuno, India, hingga Persia.
Sang khalifah menunjuk seorang ahli astronomi yang bernama Naubahkh untuk
memimpin upaya itu. Khalifah meulis surat pada kaisar Bizantium agar
mengirimkan buku-buku ilmiah untuk diterjemahkan, termasuk buku-buku tentang
ilmu astronomi. Secara khusus, sang khalifah meminta al Fazari untuk
menerjemahkan sebuah buku tentang astronomi dari India yang berjudul Sindhind,
tylisan Brahmaghupta. Buku tersebut dibawa oleh seorang pengembara dan ahli
astronomi India bernama Mauka ke Baghdad dan segera menarik perhatian kaum
cendekia di sana. Al Fazari menunaikan tugas dengan baik.
Al Fazari, ungkap Ehsan Masood
dalam bukunya "Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern",
saat itu telah menguasai astronomi sehingga di bawah arahan khalifah langsung
beliau mampu menerjemahkan dan menyadur teks astronomi India kuno yang sangat
teknis tersebut. Kemudia beliau memberi judul Zij al Sinin al Arab (Tabel
Astronomi Berdasarkan Penanggalan Bangsa Arab) pada karya terjemahannya
tersebut.
Ilmuwan terkemuka bernama Yaqub ibnu Tariq juga turut membantu
dalam proyek pengalihan bahasa tersebut. Menurut Ehsan Masood, penerjemahan
Sindhind sangat berharga. Bukan hanya karena wawasan astronominya tapi juga
sistem penomoran India yang ada di dalamnya. Hasil kerja Al Farazi melalui
penerjemahan mengenalkan sistem penomoran tersebut ke dunia Arab.
Tugas yang diawali Al Farazi pada masa selanjutnya disempurnakan oleh al Khawarizmi. Al Farazi menyusun zij atau
tabel indeks kalkulasi posisi benda-benda langit. Perhitungan dilakukan dengan
mengkombinasikan penanggalan India, Kalpa Aharganas dengan perhitungan tahun
Hijriah Arab. Selain itu, karya al Farazi mencantumkan daftar negara-negara di
dunia dan dimensinya berdasarkan perhitungan tabel.
Pada masa Khalifah Harun Al Rasyid, Al Farazi membuat astrolab
planisferis pertama yaitu mesin hitung analog pertama, sebagai alat bantu
astronomi menghitung waktu terbit dan tenggelam serta titik kulminasi matahari
dan bintang serta benda langit lainnya pada waktu tertentu. Astrolab menjadi
instrumen paling penting yang pernah dibuat. Dengan desain akurat, astrolab
menjadi instrumen penentu posisi pada abad pertengahan. Astrolab merupakan
model alam semesta yang bisa digenggam sekaligus jam matahari untuk mengukur
tinggi dan jarak bintang. Chaucer dalam Treatise in the Astrolabe menyatakan
bahwa Astrolab kemudian menjadi alat navigasi utama. hanya dalam beberapa bulan
setelah ditemukan Astrolab oleh Al Farazi, kemajuan astronomi melejit cepat.
Astrolab memainkan peranan penting dalam pencapaian bidang astronomi oleh umat
Muslim hingga masa-masa berikutnya. Seorang astronom bernama al Sufi berhasil
memanfaatkannya dengan baik.
Al Sufi mampu memetakan sekitar seribu kegunaan Astrolab dalam
berbagai bidang yang berbeda seperti astronomi, astrologi, navigasi, survei,
penentuan arah kiblat, waktu shalat, dan penunjuk waktu. Karya Al Farazi lain
berupa syair dengan judul "Qasida fi Ilm al-Nujum" (Puisi tentang
Ilmu Pengetahuan dan Perbintangan). Pada abad ke-13, karya ini ditemukan
kembali oleh penjelajah dan ahli geografi Muslim bernama Yaqut al-Hamawi dan
al-Safadi.
Gairah dan kemauan para sarjana Muslim belajar dari tradisi ilmu lain serta
dukungan penuh dari pemerintahan menjadi kunci keberhasilan dalam memajukan
ilmu pengetahuan di dunia Islam.
Al-Farghani adalah seorang ahli astronomi
muslim yang sangat berpengaruh. Nama lengkapnya adalah Abu al-Abbas bin
Muhammad bin Kalir al-Farghani. Di Barat, para ahli astronomi abad pertengahan
mengenalnya dengan sebutan al-Farghanus.
Al-Farghani berasal dari Farghana,
Transoxania. Farghana adalah sebuah kota di tepi sungai Sardaria, Uzbekistan.
Ia hidup di masa pemerintahan khalifah al-Ma'mun (813-833) hingga masa kematian
al-Mutawakkil (847-881). Al-Farghani sangat beruntung hidup di dua masa
tersebut karena pemerintah kekhalifahan memberi dukungan penuh bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Buktinya, sang khalifah membangun
sebuah lembaga kajian yang disebut Akademi al-Ma'mun, dan mengajak al-Farghani
untuk bergabung. Bersama para ahli astronomi lain, ia diberi kesempatan
menggunakan peralatan kerja yang sangat canggih pada masa itu. Ia memanfaatkan
fasilitas yang ada untuk mengetahui ukuran bumi, meneropong bintang, dan menerbitkan
laporan ilmiah. Pada tahun 829, al-Farghani melakukan penelitian di sebuah
observatorium yang didirikan oleh khalifah al-Ma'mun di Baghdad. Ia ingin
mengetahui diameter bumi, jarak, dan diameter planet lainnya. Pada akhirnya, ia
berhasil menyelesaikan penelitian tersebut dengan baik.
Al-Farghani juga termasuk orang yang
turut memperindah Darul Hikmah al-Ma'mun dan mengambil bagian dalam proyek
pengukuran derajat garis lintang bumi. Al-Farghani juga berhasil menjabarkan
jarak dan diameter beberapa planet. Pada masa itu, hal tersebut merupakan
pencapaian yang sangat luar biasa.
Hasil penelitian al-Farghani di
bidang astronomi ditulisnya dalam berbagai buku. Harakat as-Samawiyya
wa Jawami Ilm an-Nujum (Asas-Asas Ilmu Bintang) adalah salah satu
karya utamanya yang berisi kajian bintang-bintang. Sebelum masa
Regiomontanus, Harakat as-Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum adalah
salah satu buku yang sangat berpengaruh bagi perkembangan astronomi di Eropa.
Di dalam buku tersebut, al-Farghani
memang mengadopsi sejumlah teori Ptolemaeus, tapi ia mengembangkanya lebih
lanjut hingga membentuk teorinya sendiri. Tak heran, Harakat
a-Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum mendapatkan respon yang positif
dari para ilmuwan muslim dan non muslim. Buku ini pun diterjemahkan dalam
berbagai bahasa. Harakat as-Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum yang
diterjemahkan dalam bahasa Inggris mengalami perubahan judul menjadi The
Elements of Astronomy. Pada abad XII, buku ini diterjemahkan pula dalam dua
versi bahasa Latin. Salah satunya diterjemahkan oleh John Seville pada tahun
1135, sebelum kemudian direvisi oleh Regiomontanus pada tahun 1460-an. Sebelum
tahun 1175, karya ini juga sempat diterjemahkan oleh Gerard Ceremona.
Selanjutnya, Dante melengkapi karya
al-Farghani ini dengan menambahkan pendapatnya tentang astronomi dan memasukkan
karyanya yang berjudul La Vita Nuova. Seorang ilmuwan Yahudi yang
bernama Jacob Anatoli juga menerjemahkan karya ini dalam bahasa Yahudi, dan
menjadi terjemahan latin versi ketiga (1590). Pada tahun 1669, Jacob Golius
menerbitkan teks Latin yang baru. Bersamaan dengan itu, sejumlah ringkasan
karya al-Farghani telah beredar di kalangan para ilmuwan. Di kemudian
hari, The Elements of Astronomy diakui sebagai sebuah karya
yang sangat berpengaruh bagi para ilmuwan masa itu.
Tidak hanya aktif di bidang
astronomi, al-Farghani juga aktif di bidang lain, seperti teknik. Seorang
ilmuwan yang bernama Ibnu Tughri Birdi berkata bahwa al-Farghani pernah ikut
melakukan pengawasan pada proyek pembangunan Great Nilometer di
Kairo Lama (861). Nilometer adalah sebuah alat pengukur pasang-surut air sungai
Nil. Alat ini dibangun di pulau Roda, sebuah pulau yang terletak di sebelah
selatan Kairo. Nilometer berbentuk tiang yang mampu mencatat ketinggian air.
Bangunan tersebut berhasil diselesaikan bersamaan dengan meninggalnya khalifah
al-Mutawwakil, sang pencetus pembagunan Nilometer.
Al-Farghani juga pernah ditugaskan
melakukan pengawasan pada sebuah proyek penggalian kanal di kota baru,
al-Ja'fariyya, yang terletak berdekatan dengan Samaran di daerah Tigris. Proyek
tersebut bernama Kanal al-Ja'fari. Saat itu, al-Farghani
memerintahkan para pekerja untuk membuat bagian hulu kanal lebih dalam dari
pada bagian yang lain. Dengan begitu, tidak akan ada air yang mengaliri kanal
tersebut, kecuali jika permukaan air sungai Tigris sedang pasang. Kebijakan
al-Farghani ini sempat membuat khalifah marah, namun hitungan al-Farghani
kemudian dibenarkan oleh seorang pakar teknik yang berpengaruh, Sind bin Ali.
Akhirnya, sang khalifah mau menerima kebijakan tersebut. Dalam bidang teknik,
al-Farghani juga membuat karya dalam bentuk buku, yaitu Kitab al-Fusul, Ikhtiyar
al-Majisti, dan Kitab 'Amal al-Rukhamat.
Karya utama al-Farghani yang berbahasa
Arab masih tersimpan baik di Oxford, Paris, Kairo, dan di perpustakaan
Universitas Princeton. Atas karya dan jasanya yang begitu banyak, nama
al-Farghani dikenal sebagai salah satu perintis astronomi modern. Al-Farghani
adalah tokoh yang memperkenalkan sejumlah istilah astronomi asli Arab pada
dunia, seperti azimuth, nadir, dan zenith.
Al-Battani lahir pada tahun 858 di
Battan, Harran. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad Ibn Jabir Ibnu
Sinan al-Battani. Namun, para penulis abad pertengahan lebih sering menyebutnya
dengan nama Albetegni atau al-Batenus.
Ketertarikan al-Battani pada
benda-benda langit membuatnya menekuni bidang astronomi. Ia mendapat pendidikan
tersebut dari sang ayah, Jabir Ibn San’an al-Battani, yang juga seorang
ilmuwan. Dengan kecerdasannya, al-Battani mampu menguasai semua pelajaran yang
diberikan ayahnya dan menggunakan sejumlah peralatan astronomi dalam waktu yang
cukup singkat. Beberapa waktu kemudian, ia meninggalkan Harran menuju kota
Raqqa yang terletak di tepi sungai Eufrat. Di kota ini, ia melanjutkan
pendidikan dan mulai melakukan bermacam penelitian, yang kemudian menghasilkan
sejumlah penemuan penting yang berguna bagi masyarakat dan pemerintah. Pada
tanggal 14 September 786, khalifah Harun al-Rasyid, khalifah kelima Dinasti
Abbasiyah, membangun sejumlah istana di kota tersebut sebagai bentuk
penghargaannya atas penemuan al-Battani. Usai pembangunan tersebut, kota Raqqa
berubah menjadi pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan perdagangan yang ramai.
Sebagai seorang ahli astronomi,
al-Battani menghasilkan sejumlah penemuan astronomi yang penting bagi dunia. Ia
adalah ilmuwan pertama yang mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan bumi
mengelilingi matahari, yaitu 365 hari, 5 jam, 46 menit, dan 24 detik. Angka
yang ditunjukkan dalam perhitungannya itu mendekati angka yang dihasilkan para
ilmuwan modern saat melakukan penelitian yang sama dengan menggunakan alat yang
lebih akurat. Ketika alat astronomi canggih belum ditemukan, al-Battani dikenal
telah melakukan penelitian terhadap bermacam benda langit.
Selama 42 tahun, al-Battani terus
melakukan penelitian semacam itu dan menghasilkan sejumlah penelitian yang
mengagumkan. Ia menemukan garis bujur terjauh matahari mengalami pengingkatan
16,470 sejak perhitungan yang dilakukan Ptolomeus
beberapa abad sebelumnya. Hal ini kemudian menghasilkan satu penemuan penting
tentang gerak lengkung matahari. Al-Battani juga bisa menentukan kemiringan
ekliptik, panjang musim, dan orbit matahari secara akurat. Ia bahkan berhasil
menemukan orbit bulan dan planet, dan menetapkan
Teori Kemunculan Bulan Baru. Pada tahun 1749, penemuan al-Battani mengenai
garis lengkung bulan dan matahari digunakan Dunthorne untuk menentukan gerak
akselerasi bulan.
Pada masanya, al-Battani adalah
satu-satunya ahli astronomi yang mampu menggambarkan ukuran bulan dan matahari
secara akurat. Al-Battani dianggap sebagai guru, terutama bagi orang-orang
Eropa, karena ia banyak mengenalkan terminologi astronomi yang berasal dari
bahasa Arab, seperti azimuth, zenith, dan nadir.
Ia adalah penerus al-Farghani.
Karya al-Battani yang sangat
berpengaruh adalah Kitab Ma’rifat Matali al-Buruj fi ma Bayna Arba
al-Falak, sebuah buku ilmu pengetahuan tentang zodiak dan pemecahan
soal-soal astrologi. Selain itu, dikenal pulaRisalah fi Tahkik Akdar
al-Ittisalat, yaitu sebuah uraian mengenai sejumlah penemuan dan penerapan
astrologi. Karya al-Battani lainnya adalah az-Zaujush li Battani
(Almanak Versi al-Battani). Buku ini memuat enam puluh tema, seperti
pembagian planet, lingkaran kecil yang mengitari lingkaran besar, garis orbit,
dan sirkulasi peredaran planet. Di kemudian hari, buku ini disunting oleh Carlo
Nallino dan disimpan di Perpustakaan Oskorial, Spanyol. Salah satu buku
astronomi karya al-Battani yang juga terkenal adalah Kitab al-Zij.
Pada abad XII, buku ini diterjemahkan dalam bahasa Latin dengan judul De
Scienta Stellerum u De Numeris Stellerum et Motibusoleh Plato dari Tivoli.
Terjemahan tertua dari karya tersebut masih tersimpan di Vatikan.
Dalam bidang matematika, nama
al-Battani juga cukup dikenal masyarakat dunia. Salah satu kontribusinya di
bidang ini adalah upayanya melakukan perbaikan terhadap kaidah-kaidah dasar
hukum astronomi yang didasarkan pada penemuan Ptolomeus yang tertulis
dalam Almagest.
Al-Battani meninggal dunia pada tahun 927 di Irak.
Nama lengkap as-Sufi adalah Abdul
Rahman bin Umar as-Sufi Abul Husayn. Ia lahir pada tahun 903 (291 H) di Rayy,
Persia. Abdul Rahman as-Sufi dikenal sebagai salah satu ahli astronomi yang
bekerja pada kerajaan, yang saat itu dipimpin oleh Adud al-Dawla. Karena
prestasinya yang hebat dan pengetahuannya yang luas, ia diangkat menjadi salah
satu cendekiawan kebanggaan sang raja.
Karya as-Sufi yang paling terkenal
adalah Kitab al-Kawakib ats-Tsabit al-Musawwar, sebuah katalog
bintang yang dibuat berdasarkan pengamatannya sendiri. Katalog ini merupakan
atlas bintang pertama yang membahas tentang nebula pada rasi Andromeda,
sekaligus atlas bintang paling penting karena mengungkap sejumlah perubahan
yang dialami beberapa bintang utama dalam waktu sepuluh abad. As-Sufi
mendedikasikan buku yang ditulisnya sekitar tahun 965 (355 H) ini kepada Buyld
Emir Adud al-Dawla.
Kitab al-Kawakib
ats-Tsabit al-Musawwar adalah salah satu manuskrip berilustrasi paling tua yang
mengupas beberapa temua Ptolomeus. Ilustrasinya dibuat begitu menarik untuk
menggambarkan konstelasi atau tatanan bintang yang terlebih dahulu telah
disusun oleh Utarid bin Muhammad. Namun, ada pula sumber lain yang menyebutkan
bahwaKitab al-Kawakib ats-Tsabit al-Musawwar adalah buku terjemahan
dari sejumlah naskah ilmiah Yunani, sepertiAlmagest karya
Ptolomeus. Jika keduanya dibandingkan, karya astronomi Yunani yang penuh
simbol-simbol astronomi memang hampir mirip dengan tatanan bintang dalam buku
karya as-Sufi tersebut. Namun jika diperhatikan lebih seksama, terlihat bahwa
ilustrasi tatanan bintang tersebut berwujud figur tokoh terkemuka yang dibentuk
dari rangkaian sejumlah titik merah. Kini, manuskrip awal karya as-Sufi
tersebut masih tersimpan di Perpustakaan Bodleian, setelah sebelumnya disalin,
diilustrasi kembali, dan dikaligrafi oleh salah satu putra as-Sufi (1009 -
1010).
Selain karya di atas, masih banyak
karya as-Sufi yang diilustrasi kembali dengan gaya dan judul yang berbeda
sesuai perkembangan zaman. Sebuah teks dan terjemahan kata pengantarnya pernah
diterbitkan oleh Caussin de Parceval dengan judul Notices at Extraits,
sedangkan oleh H.C.F.C. Schjellerup dengan judul Description des
Etoiles Fixes par Abd al-Rahman as-Sufi (St. Petersburg, 1874). Pada
tahun 1953, naskah yang sama diterbitkan dalam bahasa Arab, setelah
manuskripnya yang berada di Paris disunting terlebih dahulu oleh M. Nazamuddin.
As-Sufi juga pernah menulis sebuah buku
pegangan tentang astronomi dan astrologi, serta sebuah risalah tentang
astrolobe. Selain menulis, as-Sufi juga pernah membuat sebuah peta bumi dari
bahan perak. Ia mempersembahkan peta ini untuk Raja Adud al-Dawla. Kini, peta
tersebut tersimpan di Perpustakaan Istana Dinasti Fatima di Kairo.
Abdul Rahman as-Sufi meninggal dunia pada
tahun 986 (376 H).
Sebagai bentuk pengakuan
dunia astronomi terhadap kiprahnya, namanya diabadikan pada sebuah KAWAH di
PERMUKAAN BULAN. Salah satu kawah di permukaan bulan ada yang dinamakan Ibn
Yunus. Ia menghabiskan masa hidupnya selama 30 tahun dari 977-1003M untuk
memperhatikan benda-benda di angkasa. Dengan menggunakan astrolabe yang besar,
hingga berdiameter 1,4meter, Ibnu Yunus telah membuat lebih dari 10 ribu
catatan mengenai kedudukan matahari sepanjang tahun.
Karya Ibnu Yunus
'paling terkenal dalam astronomi Islam adalah al-Zij al-Kabir al-Hakimi (1000
M), adalah buku panduan dari tabel astronomi yang berisi pengamatan yang sangat
akurat, banyak yang mungkin telah diperoleh dengan instrumen astronomi yang
sangat besar. Menurut NM Swerdlow, Zij al-Kabir al-Hakimi adalah "sebuah
karya orisinalitas luar biasa. Sayang hanya lebih dari setengahnya yang selamat
(diketahui)".
Yunus mengungkapkan
solusi dalam zij tanpa simbol matematika, namun Delambre mencatat di tahun 1819
terjemahannya dari tabel Hakemite bahwa dua metode Ibnu Yunus 'untuk menentukan
waktu dari ketinggian matahari atau bintang, setara dengan identitas
trigonometri 2cos (a ).cos (b) = cos (a + b) + cos (ab) diidentifikasi dalam
naskah abad ke-16 Johannes Werner pada bab kerucut. Sekarang diakui sebagai
salah satu formula Werner, formula ini penting untuk pengembangan
prosthaphaeresis dan logaritma beberapa puluh tahun kemudian. Ibnu Yunus juga
menjelaskan 40 konjungsi planet dan 30.
Ide Ibn Al-Syatir
tentang PLANET BUMI MENGELILINGI MATAHARI telah Menginspirasi Copernicus.
Akibatnya, COPERNICUS dimusuhi gereja dan dianggap pengikut setan. Demikian
juga GALILEO, yang merupakan pengikut Copernicus, secara resmi dikucilkan oleh
Gereja Katolik dan dipaksa untuk bertobat, namun dia menolak.
Ibnu Al-Shatir
merombak habis Teori Geosentris yang dicetuskan Claudius Ptolemaeus atau
Ptolemy (90 SM– 168 SM). Secara matematis, al-Shatir memperkenalkan adanya epicycle
yang rumit (sistem lingkaran dalam lingkaran). Al-Shatir mencoba menjelaskan
bagaimana gerak merkurius jika bumi menjadi pusat alam semestanya dan merkurius
bergerak mengitari bumi.
Model bentuk Merkurius
Ibnu al-Shatir menunjukkan penggandaan dari epicycle menggunakan Tusi-couple,
sehingga menghilangkan eksentrik dan equant teori Ptolemaic. Menurut George
Saliba dalam karyanya A History of Arabic Astronomy: Planetary Theories During
the Golden Age of Islam, Kitab Nihayat al-Sul fi Tashih al-Usul, merupakan
risalah astronomi Ibnu Al-Shatir yang paling penting.
"Dalam kitab itu,
secara drastis ia mereformasi model matahari, bulan, dan planet Ptolemic.
Dengan memperkenalkan sendiri model non-Ptolemic yang menghapuskan epicycle
pada model matahari, yang menghapuskan eksentrik dan equant. Dengan
memperkenalkan epicycle ekstra pada model planet melalui model Tusi-couple, dan
yang menghilangkan semua eksentrik/eccentric, epicycle dan equant di model
bulan," jelas Saliba.
Model Ibn al-Shatir
untuk penampilan Merkurius, menunjukkan perbanyakan epicycles menggunakan
Tusi-couple, menghilangkan eksentrik dan equant teori Ptolemaic.
Sebelumnya, aliran
Maragha hanya berpatokan pada model yang sama dengan model Ptolemaic. Model
geometris Ibnu al-Shatir merupakan karya pertama yang benar-benar unggul
daripada model Ptolemaic karena modelnya ini lebih baik sesuai dengan
pengamatan empiris.
Ibnu al-Shatir juga
berhasil melakukan pemisahan filsafat alam dari astronomi dan menolak model
empiris Ptolemic dibanding filsafat dasar. Tidak seperti astronomer sebelumnya,
Ibnu al-Shatir tidak peduli dengan mempertahankan teori prinsip kosmologi atau
filsafat alam (atau fisika Aristoteles), melainkan untuk memproduksi sebuah
model yang lebih konsisten dengan pengamatan empiris.
Modelnya menjadi lebih
baik sesuai dengan pengamatan empiris daripada model-model sebelumnya yang
diproduksi sebelum dia. Saliba menambahkan karyanya tersebut menjadi karya
penting dalam astronomi, yang dapat dianggap sebagai sebuah "Revolusi
ilmiah sebelum Renaissance".
Dalam membuat model
barunya tersebut, Ibnu al-Shatir melakukan pengujian dengan melakukan
pengamatan empiris. Tidak seperti astronomer sebelumnya, Ibnu al-Shatir umumnya
tidak keberatan terhadap falsafah astronomi Ptolemaic, tetapi ia ingin menguji
seberapa jauh teori Ptolemy cocok dengan pengamatan empirisnya.
Dia menguji model
Ptolemaic, dan jika ada yang tidak cocok dengan pengamatannya, maka ia akan
merumuskan sendiri model non-Ptolemaic pada bagian yang tidak cocok dengan
pengamatannya. Pengamatannya yang akurat membuatnya yakin untuk menghapus
epicycle dalam model matahari Ptolemaic.
Ibnu al-Shatir juga
merupakan astromer pertama yang memperkenalkan percobaan dalam teori planet
untuk menguji model dasar empiris Ptolemaic. Saat menguji model matahari
Ptolemaic, Ibnu al-Shatir memaparkan ''pengujian nilai Ptolemaic untuk bentuk
dan ukuran matahari dengan menggunakan pengamatan gerhana bulan."
"Karyanya tentang
percobaan dan pengamatannya memang telah musnah, namun buku The Final Quest
Concerning the Rectification of Principles adalah milik al-Shatir,'' papar
Saliba.
Pengaruh Karya Ibnu
Al-Shatir"Meskipun sistemnya merupakan geosentri yang kuat, dia telah
menghapuskan equant dan accentric Ptolemaic dan rincian sistem matematikanya
hampir serupa dengan karya Copernicus' De revolutionibus," jelas V Roberts
and E. S. Kennedy dalam karyanya "The Planetary Theory of Ibn
al-Shatir".
Menurut Saliba, model bulan Copernicus juga
tidak berbeda dengan model Ibnu al-Shatir. Dengan demikian dapat percaya bahwa
model Ibnu al-Shatir telah diadaptasi oleh Copernicus dalam model
heliocentric.
"Walaupun masih belum jelas bagaimana ini
dapat terjadi, diketahui bahwa manuskrip Byzantine Yunani yang berisi
Tusi-couple tempat Ibnu al-Shatir bekerja telah mencapai Italia pada abad ke-15
M," jtutur AI Sabra dalam karyanya "Configuring the Universe:
Aporetic, Problem Solving, and Kinematic Modeling as Themes of Arabic
Astronomy".
Saliba menambahkan, diagram model heliocentric
yang dikembangkan Copernicus, termasuk tanda-tanda dari poin, hampir sama
dengan diagram dan tanda-tanda yang digunakan Ibnu al-Shatir pada model
geosentrisnya. "Sehingga sangat mungkin bahwa Copernicus terpengaruh karya
Ibnu al-Shatir," ujarnya.
YM Faruqi dalam karyanya
" Contributions of Islamic scholars to the scientific enterprise",
mengungkapkan, "Teori pergerakan bulan Ibnu al-Shatir sangat mirip dengan
yang dicetuskan Copernicus sekitar 150 tahun kemudian". Begitulah Ilmuwan
Muslim al-Shatir mampu memberi pengaruh bagi dunia Barat.
Kontribusi Al-Shatir dalam Bidang Teknik
Jam Astrolab
David A King dalam bukunya
bertajuk The Astronomy of the Mamluks menjelaskan bahwa Ibnu al-Shatir
menemukan jam astrolabe pertama di awal abad ke-14 M.
Astrolab adalah instrumen
astronomi zaman dahulu yang digunakan oleh astronom, navigator, dan astrolog
pada era klasik. Astrolab banyak digunakan untuk menentukan lokasi dan
memprediksi posisi matahari, bulan, planet, dan bintang; menentukan waktu lokal
dengan diketahui letak bujur dan letak lintang; survei; serta triangulasi. Pada
era Islam abad pertengahan, astrolab terutama digunakan untuk mempelajari
astronomi, navigasi, survei, penentu waktu, salat, serta menentukan arah
kiblat.
Sebuah Risalah
menjelaskan pentingnya Astrolabe oleh Nasir al-Din al-Tusi
Jam Matahari
Menurut catatan sejarah,
sundial atau jam matahari merupakan jam tertua dalam peradaban manusia. Jam ini
telah dikenal sejak tahun 3500 SM. Pembuatan jam matahari di dunia Islam
dilakukan oleh Ibnu al-Shatir, seorang ahli Astronomi Muslim ( 1304-1375 M).
"Ibnu al-Shatir merakit jam matahari yang bagus sekali untuk menara Masjid
Umayyah di Damaskus," ujar David A King dalam karyanya bertajuk The
Astronomy of the Mamluks.
Berkat penemuannya
itu, ia kemudian dikenal sebagai muwaqqit (pengatur waktu ibadah) pada Masjid
Umayyah di Damaskus, Suriah. Jam yang dibuat Ibnu al-Shatir itu masih tergolong
jam matahari kuno yang didasarkan pada garis jam lurus. Ibnu al-Shatir membagi
waktu dalam sehari dengan 12 jam, pada musim dingin waktu pendek, sedangkan
pada musim panas waktu lebih panjang. Jam mataharinya itu merupakan polar-axis
sundial paling tua yang masih tetap eksis hingga kini.
"Jam mataharinya
merupakan jam tertua polar-axis sundial yang masih ada. Konsep kemudian muncul
di Barat jam matahari pada 1446," ungkap Jones, Lawrence dalam karyanya
"The Sundial And Geometry".
Kompas
David A.King
mengatakan Ibnu al-Shatir juga menemukan kompas, sebuah perangkat pengatur
waktu yang menggabungkan jam matahari dan kompas magnetis pada awal abad ke-14
M.
Dari pembahasan yang telah dilakukan diatas, kamipun menarik
kesimpulan bahwasannya Islam, merupakan agama yang paling sempurna. Segala yang
ada di alam semesta ini telah ditetapkan oleh Allah SWT. Jika kita mengkaji
ulang, segala sesuatu yang ada di dunia ini, pada awalnya bersumber dan
bermuara dari Islam. Seperti halnya Ilmu Astronomi. Semua yang berkenaan dengan
ilmu astronomi telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Lalu, bagaimana
dengan sekarang. Mengapa perkembangan ilmu astronomi cenderung berasal dari
Dunia barat? . Karena, generasi-generasi Islam sekrang sudah tidak seperti
dulu. Sebenarnya, pada kenyataannya bangsa Barat memanfaatkan Al-Qur’an untuk
memperdalam Ilmu pengetahuan tentunya tidak dengan keimanan dan ketaqwaan. Oleh
karenanya, kita sebagai generasi muda Islam hendaknya berusaha untuk memajukan
Islam.
Demikianlah makalah yang dapat
kami buat. Tentunya, makalah kami ini
memiliki banyak sekali kekurangan. Atas segala kekurangan tersebut, kami memohon
maaf yang sebesar-besarnya. Semoga apa yang dapat kami tuliskan ini bermanfaat
bagi pembaca, dan meningkatkan motivasi serta wawasan pembaca. Sekian penutup dari kami semoga berkenan di hati dan kami ucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya.